Jakarta – seputar indonesia.co.id – Di tengah gegap gempita industri bela diri modern Muay Thai, Jiu-jitsu, MMA ada satu jejak sejarah yang hampir tenggelam: Tinju Gaya Bebas, atau Bokushingu-Do. Seni bertarung ini bukan datang dari akademi olahraga, melainkan dari masa perang, darah, dan perlawanan di Tanah Jawa.
Menurut Presiden FBO Indonesia, Ferdinand Weimar, akar tinju bebas bermula dari masa pendudukan Jepang. Sebelum Jepang masuk, pasar malam kolonial Belanda mengenal pertunjukan adu fisik bernama WORSTELEN. Jepang kemudian membawa pengaruh baru: seni pukulan sederhana, cepat, dan mematikan diajarkan kepada pemuda pribumi, lalu dikenal sebagai Bokushingu-Do.
Di titik inilah sejarah berubah arah. Adalah seorang tentara Jepang bernama Tatsuo Ichiki, kelahiran Kumamoto, Jepang Selatan tahun 1906, yang kemudian membelot. Ia menolak tunduk pada imperialisme Jepang, memilih bergabung dengan republik muda, mengganti nama menjadi Abdul Rachman, dan berjuang di Malang hingga gugur pada 9 Januari 1949.
Kisahnya bagai legenda: keturunan samurai klan Sagara, berkhianat kepada Kaisar demi tanah asing yang kelak menjadi tanah airnya. Ia menurunkan ilmunya kepada murid-murid pribumi, salah satunya Pak Moen dari Surakarta, yang kemudian melestarikan teknik itu dan menurunkannya kepada generasi berikutnya, termasuk pelatih militer seperti Master Bambang Nugraha dan Master Robby Cahyadi.
Kini, melalui organisasi FBO Indonesia, Ferdinand bertekad menghidupkan kembali warisan bela diri ini—bukan sekadar romantisme sejarah, tapi sebagai wadah prestasi nasional dan internasional. Konsepnya sederhana namun tegas: pertarungan realistik, efektif, dan bisa dipelajari semua kalangan, mulai dari anak-anak, remaja, hingga usia lanjut.
Sebuah pendekatan yang—justru—rada berbeda dari bela diri kompetisi modern yang sering membatasi teknik destruktif demi regulasi pertandingan. FBO menawarkan freestyle boxing hingga full striking, termasuk teknik pukulan klasik dan variasi putaran, menuntut eksplosivitas, kecepatan, dan ketepatan.
Seragam pun bukan tempelan gaya Barat. FBO mengadopsi kimono tanpa lengan berwarna abu-abu, sabuk bertingkat dari putih hingga Dan 7, bukan sekadar simbol, tetapi penghormatan kepada leluhur seni ini.
Gerakan ini tentu menarik perhatian. Di tengah derasnya pengaruh bela diri impor, ada upaya mengangkat kembali warisan perjuangan lokal—yang ironisnya berasal dari seorang samurai Jepang yang mati untuk Indonesia. Pertanyaannya:
Apakah negara siap mengakui dan merangkul perjalanan sejarah yang kerap diabaikan ini?
Jika benar tinju gaya bebas lahir dari semangat pembelaan pribumi dan pengkhianatan seorang samurai terhadap kekaisaran demi kemerdekaan Indonesia, bukankah ia layak mendapatkan panggung terhormat dalam khazanah olahraga nasional?
Di ruang publik yang kian dipenuhi kampanye bela diri internasional, jejak Bokushingu-Do menghadirkan alternatif: bela diri dengan identitas, sejarah, dan karakter perjuangan.
Sebuah warisan yang menunggu untuk kembali ditulis dalam narasi Indonesia merdeka. Pembaca budiman boleh merenung: jika negeri ini mampu merawat seni perang leluhur dari tanah asing yang memilih menjadi Indonesia, mengapa kita sering gagap merawat warisan kita sendiri
Liputan Media Nasional Obor Keadilan ini menjadi pengingat kecil bahwa sejarah bukan pajangan. Sejarah hidup ketika ia diperjuangkan kembali di gelanggang, di pikiran, dan dalam kesadaran bangsa.
Artikel lanjutan akan mengupas struktur organisasi FBO, basis pelatihan, mekanisme pengujian sabuk, serta posisi hukumnya dalam dunia olahraga dan bela diri Indonesia. Selalu ada ruang untuk bertanya: apa yang belum kita bangun dari warisan para pejuang.
(Red)








