News  

Adanya Dugaan Penyimpangan Dalam Pengeolaan Anggaran Belanja Daerah PEMKAB Sukabumi

Sukabumi – seputarindonesia.co.id- Pemerintah Kabupaten Sukabumi tengah menjadi sorotan setelah ditemukan adanya dugaan penyimpangan serius dalam pengelolaan anggaran belanja daerah tahun anggaran 2024, bahkan dengan potensi Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN).

Berdasarkan hasil pemeriksaan atas Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) dan Laporan Realisasi Anggaran (LRA), terungkap bahwa terjadi salah klasifikasi antara Belanja Modal dan Belanja Barang dan Jasa dengan nilai mencapai Rp10,84 miliar.

Temuan ini mengindikasikan adanya dugaan penyalahgunaan anggaran dan praktik kolusi, korupsi, serta nepotisme (KKN) yang terstruktur di berbagai Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD).

Dari hasil audit BPK, ditemukan bahwa Belanja Modal senilai Rp.3.955.897.239,79 digunakan untuk kegiatan yang tidak menghasilkan aset tetap. Dana tersebut dipakai untuk pengeluaran seperti belanja jasa, belanja pemeliharaan dan belanja persediaan, yang seharusnya termasuk dalam kategori Belanja Barang dan Jasa.

Beberapa SKPD yang tercatat melakukan kesalahan ini antara lain Dinas Pendidikan dengan nilai Rp1,39 miliar, Dinas Kesehatan Rp255 juta, Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman Rp637 juta, dan Sekretariat DPRD Rp188 juta.

Kesalahan ini tidak bisa dianggap sekadar kekeliruan administratif karena menunjukkan adanya indikasi manipulasi akuntansi untuk memperindah laporan keuangan pemerintah daerah. Belanja yang sifatnya habis pakai justru dicatat sebagai belanja investasi agar terlihat seolah-olah menghasilkan aset tetap.

Praktik semacam ini sering dijadikan celah untuk melakukan markup harga, penggelembungan anggaran, atau pengalihan dana secara terselubung.

Tidak berhenti di situ, hasil audit juga menemukan bahwa Belanja Barang dan Jasa justru digunakan untuk kegiatan pembangunan fisik dan pengadaan aset tetap senilai Rp6.885.494.213,00. Kegiatan ini melibatkan 55 SKPD, termasuk Dinas Pendidikan dengan nilai Rp949 juta, Dinas Kesehatan Rp320 juta, Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman Rp3,3 miliar, dan Dinas Kebudayaan, Kepemudaan dan Olahraga Rp547 juta. Bahkan hampir seluruh kecamatan di Kabupaten Sukabumi juga terlibat dengan nominal bervariasi.

Kondisi ini memperlihatkan adanya ketidaktertiban sistemik dalam tata kelola keuangan daerah. Pergeseran fungsi belanja dari modal ke operasional, dan sebaliknya, tidak hanya menyalahi Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) serta ketentuan Permendagri Nomor 77 Tahun 2020, tetapi juga menimbulkan dugaan bahwa pola ini disengaja untuk menutupi penyimpangan dalam proses penganggaran dan pelaksanaan kegiatan.

Praktik ini juga membuka ruang bagi terjadinya pembelahan proyek (split project) agar nilai kegiatan tetap di bawah batas lelang, sehingga bisa diberikan langsung kepada rekanan tertentu tanpa proses tender terbuka.

Hal tersebut mengarah pada indikasi kolusi antara pejabat SKPD, Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD), dan pihak ketiga, yang berpotensi menimbulkan kerugian negara.

Menurut regulasi yang berlaku, pelaksanaan anggaran semacam ini jelas melanggar ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2020 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan, Permendagri Nomor 77 Tahun 2020, serta Buletin Teknis SAP Nomor 4 tentang Penyajian dan Pengungkapan Belanja Pemerintah.

Pelanggaran ini termasuk kategori penyajian tidak wajar atas transaksi keuangan daerah dan dapat mengakibatkan pertanggungjawaban hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam laporannya menilai bahwa persoalan ini disebabkan oleh ketidakcermatan TAPD dalam melakukan evaluasi dan verifikasi jenis belanja, lemahnya pengawasan Kepala SKPD, serta kurangnya pemahaman Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) terhadap aturan akuntansi pemerintahan.

Namun, bila dilihat dari luasnya penyimpangan melibatkan 75 instansi dan kecamatan, maka kecil kemungkinan hal ini murni karena kelalaian. Pola penyimpangan yang seragam di berbagai instansi justru menunjukkan adanya perencanaan sistematis dan dugaan rekayasa anggaran yang disengaja.

Dampak dari kesalahan ini sangat besar. Realisasi Belanja Modal tercatat kurang saji (understated) sebesar Rp3,95 miliar, sementara Belanja Barang dan Jasa lebih saji (overstated) sebesar Rp6,88 miliar. Akibatnya, Laporan Realisasi Anggaran dan Neraca Daerah menjadi tidak akurat dan menyesatkan publik terkait kondisi riil keuangan pemerintah daerah.

Meski Pemerintah Kabupaten Sukabumi mengakui kesalahan tersebut dan berjanji akan memperbaiki pencatatan serta sistem verifikasi ke depan, langkah itu dinilai belum cukup.

Kesalahan sebesar ini memerlukan penelusuran hukum lebih lanjut oleh Kejaksaan dan Inspektorat Daerah untuk memastikan apakah terdapat unsur penyalahgunaan wewenang, rekayasa laporan, atau penggelembungan nilai kegiatan.

Jika terbukti, maka tindakan ini dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi terencana, sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UU Tipikor, dengan ancaman pidana hingga 20 tahun penjara.

Kasus ini menegaskan lemahnya sistem pengawasan internal pemerintah daerah dan rendahnya integritas dalam proses penyusunan anggaran publik.

Pemerintah Kabupaten Sukabumi perlu segera mengambil langkah transparan, membuka hasil audit kepada masyarakat, serta menyerahkan kasus ini ke aparat penegak hukum agar proses hukum berjalan objektif dan akuntabel.

Penyimpangan senilai lebih dari Rp10,8 miliar ini bukan hanya mencerminkan kesalahan administratif, melainkan juga bentuk nyata penyalahgunaan keuangan publik yang menggerus kepercayaan masyarakat terhadap tata kelola pemerintah daerah

Publik kini menunggu ketegasan Bupati Sukabumi dan aparat penegak hukum dalam menindak para pejabat yang terlibat agar tidak ada lagi ruang bagi praktik korupsi terselubung di balik laporan keuangan yang tampak rapi di atas kertas.

(M.Dasep)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *