Jakarta – seputar indonesia.co.id – Propaganda militer Israel di media sosial telah menjadi salah satu instrumen utama dalam perang informasi (information warfare), terutama sejak konflik di Gaza meningkat. IDF (Israel Defense Forces) secara aktif memanfaatkan berbagai platform seperti X (dulu Twitter), Instagram, TikTok, dan YouTube untuk menyampaikan narasi mereka kepada khalayak global. Hal itu sangat tampak sekali dalam pola ofensif di strategi propagandanya.
*Strategi Propaganda di Media Sosial*
a. Penggunaan Bahasa Visual
IDF sering membagikan video serangan udara atau footage yang menunjukkan “keberhasilan” operasi militer. Visual seperti peta, animasi drone, atau citra satelit dipakai untuk menciptakan kesan presisi dan legitimasi. Mereka juga memanipulasi emosi dengan memperlihatkan korban sipil Israel, sambil menutupi atau membingkai secara berbeda korban sipil Palestina.
b. Framing dan Narasi
Israel memposisikan diri sebagai korban dan pembela diri (“self-defense”). Narasi yang digunakan: “melawan terorisme”, “melindungi warga sipil”, “membasmi Hamas”, “serangan presisi”. Lawan mereka (seperti Hamas) sering digambarkan sebagai “barbar”, “teroris”, dan “menggunakan warga sipil sebagai tameng manusia”.
c. Personalisasi dan Humanisasi Pasukan
IDF kerap memposting konten “manusiawi” tentang tentara Israel, mereka makan, menangis, bermain musik, atau menangisi rekan yang gugur guna membangun empati. Konten ini kontras dengan penggambaran pejuang Palestina yang tidak diberi wajah atau sisi manusiawi.
d. Hashtag Warfare dan Influencer
Pemanfaatan hashtag seperti #IsraelUnderAttack atau #StandWithIsrael. Kolaborasi dengan influencer pro-Israel atau tokoh terkenal internasional untuk memperluas jangkauan pesan mereka.
*Tujuan Propaganda Militer Israel*
– Legitimasi Internasional : Membangun dukungan internasional, terutama dari Barat.
– Demonisasi Lawan : Membentuk persepsi bahwa semua bentuk perlawanan Palestina adalah “terorisme”.
– Pengaruh Psikologis : Melemahkan semangat masyarakat Palestina dan pendukungnya dengan menunjukkan kekuatan dominan.
– Pengendalian Narasi : Mengantisipasi kritik global atas serangan terhadap warga sipil dan infrastruktur sipil.
*Kritik terhadap Praktik Propaganda*
a. Manipulatif dan Tidak Seimbang
Banyak informasi tidak diverifikasi secara independen. Tidak ada pemberitaan seimbang tentang korban Palestina atau pelanggaran HAM oleh tentara Israel. Pihak-pihak Palestina tidak memiliki akses setara ke platform digital karena algoritma, pelarangan akun, dan sensor konten.
b. Etika dan Dehumanisasi
Menormalkan kekerasan terhadap warga sipil Palestina. Menampilkan perang sebagai “game” atau “tontonan” di TikTok/Instagram. Penggunaan footage militer seperti film action dapat mengurangi kesadaran akan penderitaan nyata yang terjadi.
c. Pelanggaran terhadap Prinsip Jurnalisme dan Transparansi
Militer menjadi sumber utama informasi, tanpa check and balance dari jurnalis independen. Banyak media Barat mengutip langsung dari akun IDF tanpa konfirmasi lebih lanjut.
*Dampak Global*
a. Polarisasi Opini Publik
Meningkatnya polarisasi antara pendukung Israel dan Palestina secara online. Banyak aktivis pro-Palestina yang mengalami doxing, sensor, atau penghapusan konten mereka.
b. Tekanan terhadap Platform Sosial Media
Kritik terhadap Meta (Facebook, Instagram), X (Twitter), dan TikTok karena dianggap memihak narasi Israel. Banyak organisasi HAM menuduh platform ini melakukan shadow banning terhadap konten pro-Palestina.
c. Normalisasi Kekerasan dan Islamofobia
Narasi anti-Palestina kerap bermuatan Islamofobia, memperkuat stereotip negatif terhadap Muslim secara umum.
Dengan demikian, propaganda militer Israel di media sosial bukan sekadar alat informasi, tetapi senjata strategis dalam konflik modern. Melalui narasi, visual, dan teknologi, mereka menguasai persepsi publik dan membentuk opini global. Namun, praktik ini menimbulkan pertanyaan etis serius, termasuk soal sensor, dehumanisasi, dan manipulasi informasi. Analisis kritis terhadap propaganda ini penting untuk menjaga integritas informasi publik, mendukung jurnalisme independen, serta mendorong kesadaran bahwa konflik tidak dapat disederhanakan menjadi “hitam-putih” melalui media sosial. Semoga bermanfaat.
(Red)