Jakarta – seputar indonesia.co.id – Kekosongan ruang hukum (atau legal vacuum/lacunae) adalah situasi di mana tidak ada peraturan hukum yang mengatur secara spesifik suatu peristiwa atau keadaan yang membutuhkan penanganan hukum, sehingga menimbulkan ketidakpastian dan potensi kekacauan hukum. Hakim dapat mengatasi hal ini dengan melakukan penemuan hukum melalui penafsiran atau merujuk pada nilai-nilai masyarakat yang hidup dan berkembang, Kamis (25/9/2025).
Hal tersebut bisa terjadi saat tidak ada peraturan formal yang mengatur suatu peristiwa atau keadaan hukum. Bisa juga saat peraturan yang ada tidak memadai atau tidak dapat diterapkan pada kasus tertentu, menciptakan ketidakjelasan dalam penegakan hukum, sehingga berdampak pada :
– Ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid): Masyarakat tidak memiliki pedoman yang jelas mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, atau bagaimana suatu peristiwa akan ditangani secara hukum.
– Potensi kekacauan hukum (rechtsverwarring): Ketidakjelasan ini dapat berujung pada kebingungan dan potensi konflik di masyarakat.
– Melemahnya kepercayaan pada sistem peradilan: Hakim mungkin kesulitan untuk memberikan keadilan karena tidak memiliki dasar hukum yang kuat untuk suatu kasus.
Jadi tingginya kekosongan ruang hukum hadapi akselerasi perubahan teknologi mencerminkan suatu tantangan besar dalam sistem hukum modern, khususnya dalam menghadapi pesatnya perkembangan teknologi digital, AI, blockchain, dan lainnya. Kekosongan ruang hukum (legal vacuum) adalah kondisi ketika hukum yang ada tidak mampu mengatur fenomena baru yang muncul dalam masyarakat. Fenomena tersebut adalah perubahan teknologi yang sangat cepat (akseleratif).
Adapun penyebab Kekosongan Hukum terkait teknologi, adalah :
– Perubahan Teknologi Lebih Cepat dari Regulasi
– Regulasi biasanya memerlukan proses legislatif yang panjang dan birokratis.
– Sementara itu, teknologi seperti AI, IoT, metaverse, atau crypto berkembang dalam hitungan bulan bahkan minggu.
– Minimnya Pemahaman Regulator terhadap Teknologi Baru
– Banyak pembuat kebijakan yang belum memahami secara mendalam teknologi yang ingin mereka atur.
– Globalisasi Teknologi
– Teknologi tidak mengenal batas negara, namun hukum bersifat teritorial. Contohnya data pengguna Indonesia disimpan di server luar negeri sehingga yurisdiksi menjadi kabur.
– Kurangnya Antisipasi Hukum (Hukum yang Proaktif)
– Kebanyakan hukum bersifat reaktif terhadap masalah yang sudah terjadi, bukan proaktif untuk mencegah potensi risiko.
*Dampak dari Kekosongan Hukum Teknologi*
– Hukum : Sulit menegakkan keadilan karena tidak ada dasar hukum yang jelas.
– Masyarakat : Rentan terhadap penyalahgunaan data, penipuan digital, dan kejahatan siber.
– Industri : Ketidakpastian hukum menurunkan kepercayaan investor.
– Pemerintah : Kehilangan kontrol terhadap aspek penting seperti keamanan siber dan kedaulatan data.
*Solusi dan Strategi*
– Pembentukan Regulasi Teknologi yang Agile dan Fleksibel
– Gunakan prinsip technology-neutral law (hukum yang tidak bergantung pada jenis teknologinya).
– Peningkatan Literasi Teknologi bagi Regulator
– Melibatkan ahli teknologi dalam proses legislasi.
– Kolaborasi Multi-Pihak, Pemerintah, akademisi, industri, dan masyarakat sipil harus bekerja sama.
– Regulatory Sandbox
– Pemerintah mengizinkan pengujian terbatas atas inovasi teknologi dalam ruang yang dikontrol.
– Hukum Internasional dan Kesepakatan Regional
– Mengembangkan kerangka hukum lintas negara yang menangani isu global seperti data privacy dan AI ethics.
*Contoh Kekosongan Hukum dalam Praktik Empirik*
– AI (Kecerdasan Buatan) : Tidak ada regulasi eksplisit soal tanggung jawab hukum AI (misalnya jika AI menyebabkan kecelakaan).
– Cryptocurrency : Banyak negara belum mengakui atau mengatur crypto secara jelas → celah pencucian uang dan penipuan.
– Deepfake : Belum ada aturan komprehensif untuk menangani penyebaran konten manipulatif ini.
– Metaverse : Belum ada pengaturan kepemilikan aset digital, perlindungan konsumen, atau identitas digital.
Dengan demikian, tingginya kekosongan ruang hukum dalam menghadapi akselerasi perubahan teknologi adalah tantangan nyata yang membutuhkan pendekatan lintas disiplin dan adaptif. Tanpa pembaruan hukum yang cepat dan relevan, masyarakat dan negara akan tertinggal dalam melindungi hak dan kepentingannya di era digital ini. Semoga bisa menjadi bahan renungan kita semua, dan bermanfaat bagi masyarakat.
(Red)