Pandangan Hukum Dalam Penanganan Unjuk Rasa Damai Dan Anarkis

Oleh : Dede Farhan Aulawi

Jakartaseputar indonesia.co.id – Pandangan hukun terkait dengan penanganan unjuk rasa yang dilakukan oleh kepolisian, pada dasarnya memuat beberapa hal yang perlu dipahami bersama oleh seluruh lapisan masyarakat maupun aparat itu sendiri. Dengan demikian diharapkan adanya kesamaan persepsi dan kesatuan sudut pandang dalam melihat sebuah perisitiwa. Unjuk rasa pada hakikatnya sangat relevan dengan kebebasan berpendapat yang dijamin undang-undang. Namun di lain sisi, ada satu hal yang tidak boleh dilipakan, yaitu kewajiban negara menjaga ketertiban umum, Jumat (5/9/2025).

Untuk itu, beberapa hal yang perlu dipahami bersama adalah :
1. Dasar Hukum Kebebasan Menyampaikan Pendapat
UUD 1945 Pasal 28E ayat (3) menyatakan bahwa “ Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat “.
UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, menyatakan bahwa aksi unjuk rasa di muka umum sah sebagai hak warga negara. Namun hak tersebut dibatasi oleh kewajiban menjaga ketertiban umum, moral, dan hak orang lain.

2. Batasan dan Larangan
Pasal 6 UU No. 9/1998 menyatakan bahwa “ Setiap orang yang menggunakan hak menyampaikan pendapat di muka umum wajib menghormati hak orang lain, moral, ketertiban umum, serta keutuhan persatuan bangsa “.
Pasal 15 UU No. 9/1998 menyatakan bahwa “unjuk rasa dapat dibubarkan jika menyalahi ketentuan, misalnya menimbulkan kerusuhan, mengancam keselamatan umum, mengganggu ketertiban umum.

3. Tindakan Aparat
Polri sesuai UU No. 2 Tahun 2002, salah satunya memiliki tugas dan fungsi memelihara kamtibmas dan menegakkan hukum. Jika aksi unjuk rasa berubah menjadi anarkis (merusak fasilitas umum, harta benda, bahkan menimbulkan korban jiwa), maka Aparat berhak membubarkan aksi tersebut. Aparat dapat melakukan tindakan tegas dan terukur sesuai Perkap No. 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian. Prinsipnya adalah legalitas, nesesitas, proporsionalitas, dan akuntabilitas.

4. Konsekuensi Hukum bagi Pelaku Anarkis
Pasal 170 KUHP menyatakan bahwa kekerasan terhadap orang/barang di muka umum bisa dipidana penjara.
Pasal 187 KUHP menyatakan bahwa membakar, meledakkan, merusak dapat dipidana berat.
Jika menimbulkan korban jiwa, pelaku dapat dikenakan pasal pembunuhan atau penganiayaan yang mengakibatkan kematian.

5. Kesimpulan Pandangan Hukum
– Unjuk rasa damai = sah (dilindungi konstitusi).
– Unjuk rasa anarkis = pelanggaran hukum.
– Aparat berwenang membubarkan unjuk rasa anarkis untuk menjaga ketertiban umum.
– Pelaku perusakan, penganiayaan, atau yang menimbulkan korban jiwa dapat dikenakan sanksi pidana.

Alur Hukum Penanganan Unjuk Rasa Anarkis
1. Tahap Awal: Unjuk Rasa Damai
Dasar hukum: UUD 1945 Pasal 28E & UU No. 9/1998.
Syarat sah: pemberitahuan ke kepolisian, tertib, menghormati hak orang lain.
Status: Sah & dilindungi hukum.

2. Perubahan Menjadi Anarkis
Tanda-tanda : Merusak fasilitas umum, Mengganggu lalu lintas & ketertiban umum, Kekerasan terhadap orang atau aparat, Menimbulkan korban luka/nyawa.
Status: Hak konstitusional gugur karena melanggar batas hukum.

3. Tindakan Aparat
Langkah preventif : himbauan, negosiasi, peringatan.
Langkah represif :
– Membubarkan massa (Pasal 15 UU No. 9/1998).
– Penggunaan kekuatan bertingkat (Perkap No. 1/2009).

Jika eskalasi tinggi, maka diambil langkah – langkah penegakan hukum (penangkapan/pembatasan ruang gerak).
Prinsip: legalitas – nesesitas – proporsionalitas – akuntabilitas.

4. Proses Hukum Bagi Pelaku
KUHP :
Pasal 170 : Kekerasan bersama di muka umum.
Pasal 187 : Membakar/merusak dengan sengaja.
Pasal 351-358 : Penganiayaan.
Pasal 338/340 : Jika mengakibatkan kematian.

UU Kekhususan:
Bisa juga kena UU Terorisme jika motif & aksinya memenuhi unsur.
Status: Diproses pidana sesuai perbuatan.

5. Konsekuensi Hukum
Hak menyampaikan pendapat tetap dijamin bila damai.
Jika berubah anarkis, maka aparat berwenang penuh membubarkan.
Negara wajib menindak pelaku demi melindungi masyarakat & ketertiban umum.
Dengan demikian dapat kami simpulkan bahwa :
Kebebasan berpendapat bukanlah hak absolut. Begitu aksi berubah anarkis, aparat punya dasar hukum kuat untuk membubarkan dan menindak pelaku secara pidana.

(Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *