Eksploitasi Isu Negatif, Media Berpotensi Ciptakan Copycat Crime Di Indonesia

Jakartaseputar indonesia.co.id – Selama beberapa dekade terakhir, masyarakat Indonesia terus-menerus disajikan pemberitaan media yang mengeksploitasi isu perpecahan, korupsi, kemiskinan, politik kotor, kriminal, dan beragam isu negatif lainnya, Kamis (28/8/2025).

Pemberitaan ini berkontribusi besar dalam menciptakan kondisi yang sangat buruk di negeri ini. Indonesia seolah hanya dipenuhi oleh koruptor, pelaku kriminal, politisi busuk, dan pejabat korup, sementara orang baik menjadi makhluk langka.

Di era Orde Baru, kebebasan pers adalah “barang” mahal karena media dikontrol ketat oleh pemerintah yang otoriter dan anti-kemerdekaan berpendapat.

Kritik terhadap pemerintah pun dianggap haram. Anehnya, di tengah kondisi ini, Indonesia justru berhasil mencapai swasembada pangan, pembangunan berjalan mulus, dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika sangat stabil.

Namun, ketika gaung kemerdekaan berpendapat dan kebebasan pers berkumandang, rezim Orde Baru akhirnya tumbang setelah 32 tahun berkuasa. Pers Indonesia kini bebas dan merdeka dari ancaman pembredelan, sementara rakyat pun bebas berpendapat, bahkan cenderung kebablasan.

Eksploitasi Isu Negatif Demi Kepentingan Industri Pers

Sayangnya, isu perpecahan, korupsi, kemiskinan, politik kotor, kriminal, dan beragam isu negatif lainnya justru menjadi “barang berharga” bagi industri pers.

Eksploitasi isu negatif ini menjadi sajian utama media-media besar berskala nasional. Kasus-kasus kriminal seperti sodomi anak, mutilasi, begal, dan korupsi dieksploitasi secara berkesinambungan di seluruh media arus utama.

Demi menaikkan rating, menambah pundi-pundi pendapatan iklan, dan meraih jumlah pembaca, masyarakat terus disuguhkan berita-berita bombastis ketika kasus-kasus tersebut mencuat. Isu-isu negatif ini menghiasi media arus utama seolah menjadi resep dokter: tiga kali sehari, berkelanjutan selama berhari-hari.

Contoh paling sederhana, saat kasus pembunuhan dan narkoba yang melibatkan petinggi Polri terjadi, media melakukan eksploitasi tanpa henti. Seluruh media penyiaran nasional menyiarkan secara langsung proses penindakan, penyidikan, hingga persidangan.

Akibatnya, seolah-olah tidak ada berita lain yang lebih penting bagi publik. Hal ini membuat seluruh jajaran Kepolisian RI tanpa disadari dipotret sama buruknya dengan perbuatan jahat oknum jenderal tersebut.

Pers turut membangun citra buruk institusi Polri. Padahal, ada puluhan ribu polisi baik di luar sana yang rela berkorban jiwa dan raga demi menjamin keamanan warga.

Seharusnya, pers menjalankan fungsi kontrol sosial tanpa menjadikan isu negatif lebih dominan dibandingkan isu prestasi aparat Polri dalam melayani dan melindungi masyarakat.

Contoh eksploitasi isu negatif terbaru, saat media membingkai pernyataan tokoh-tokoh oposisi bahwa kasus Tom Lembong dan Sekjen PDI Perjuangan, Hasto, adalah bagian dari upaya kriminalisasi.

Publik disuguhi pemberitaan selama berbulan-bulan yang seolah-olah kedua tokoh ini terzalimi. Opini publik pun terbentuk bahwa penegakan hukum terhadap mereka adalah bagian dari skenario balas dendam politik pasca-Pilpres 2024.

Namun, ketika pemerintah merespons opini ini dengan memberikan amnesti dan abolisi, justru muncul lagi pemberitaan yang kontradiksi.

Pers kembali mengeksploitasi isu negatif menggunakan pernyataan kritis dari tokoh-tokoh oposisi lainnya yang menyebut pemerintahan sekarang pro-koruptor dan membebaskan koruptor.

Lagi-lagi, masyarakat menjadi target untuk meraih keuntungan dari eksploitasi pemberitaan, yang menyudutkan penguasa demi rating dan pendapatan iklan. Kondisi ini makin membuat rakyat bingung.

Kasus terkini seperti pernyataan Bupati Pati soal kenaikan pajak serta isu kenaikan gaji dan tunjangan DPR juga terus dijadikan sumber pendapatan industri pers.

Eksploitasi isu negatif melalui pemberitaan masif “sukses” memicu gelombang protes warga untuk berdemonstrasi besar-besaran. Media arus utama nasional mengeksploitasi kericuhan dan tindakan anarkis para demonstran di Pati dan DPR RI secara berulang-ulang.

Akibatnya, penyampaian aspirasi melalui demonstrasi yang berujung ricuh seolah menjadi tren masa kini. Pemberitaan media arus utama, baik penyiaran maupun daring, menjadikan isu ini sebagai berita utama secara berulang dan berkelanjutan.

Illusory Truth Effect dan ‘Copycat Crime’

Masyarakat tanpa sadar terperangkap dalam Illusory Truth Effect, atau efek ilusi kebenaran. Media arus utama tidak peduli bahwa eksploitasi pemberitaan negatif yang berlebihan dapat berdampak buruk pada kehidupan bermasyarakat.

Dalam ilmu psikologi, Illusory Truth Effect adalah fenomena kognitif di mana seseorang cenderung lebih mudah memercayai informasi sebagai kebenaran hanya karena informasi tersebut sering diulang-ulang. Dampak serius dari hal ini adalah terbentuknya opini publik yang terdistorsi.

Ketika media terus-menerus menyoroti sisi negatif suatu isu, masyarakat akan cenderung menganggap isu tersebut lebih umum atau lebih parah dari kenyataan.

Pengulangan ini membuat narasi negatif terasa lebih familiar dan, seiring waktu, dianggap sebagai fakta yang tidak terbantahkan, bahkan jika ada informasi lain yang membuktikan sebaliknya. Ini dapat memicu skeptisisme dan kecurigaan berlebihan masyarakat terhadap institusi atau kelompok tertentu.

Pemberitaan negatif yang terus-menerus juga dapat menciptakan iklim ketakutan dan kecemasan.

Misalnya, pemberitaan berulang tentang kasus penculikan anak atau kriminal tertentu bisa membuat masyarakat merasa tidak aman, bahkan ketika statistik menunjukkan angka kejahatan tidak sedang meningkat.

Lebih berbahaya lagi, Illusory Truth Effect pada pemberitaan negatif yang berulang dapat memicu “Copycat Crime”, atau kejahatan peniruan. Ini adalah salah satu dampak paling berbahaya dari eksploitasi kasus kriminal oleh media, seperti kasus mutilasi, sodomi, begal, dan korupsi.

Media turut berkontribusi mengedukasi masyarakat dalam kasus pembunuhan yang disertai mutilasi, kasus sodomi anak, dan begal.

Tidak heran kasus mutilasi yang dulunya sangat jarang terjadi di Indonesia, kini justru sering kali terjadi dan marak diberitakan di berbagai daerah karena kejahatan peniruan yang terus terjadi akibat eksploitasi kasus berlebihan oleh pers demi kepentingan pendapatan dan rating media.

Hal yang sama terjadi pada kasus korupsi. Korupsi justru menjadi tren, dan orang menjadi tidak takut atau malu melakukannya karena mencontoh para pejabat negara yang tertangkap. “Copycat Crime” terjadi karena media terus mengeksploitasi jenis kasus ini.

Para koruptor bahkan terlihat tersenyum seolah pahlawan di depan kamera meski ditangkap oleh KPK, Jaksa, atau Polisi. Seolah tidak ada rasa malu saat melakukan tindakan korupsi berjamaah.

Jurnalisme Solusi untuk Perbaikan

Di negara-negara maju dan berkembang, media sering bekerja sama dengan pemerintah atau LSM untuk menjalankan kampanye layanan publik (Public Service Announcements/PSAs) yang bertujuan mengubah perilaku masyarakat menjadi lebih baik.

Contohnya di Singapura, pemerintah sering meluncurkan kampanye nasional untuk mempromosikan kebersihan, kesopanan, atau produktivitas. Di Amerika Serikat, banyak lembaga penyiaran secara sukarela menayangkan berita tentang isu-isu penting seperti bahaya merokok atau pentingnya vaksinasi.

Di Indonesia, berita mengenai pencapaian dan keberhasilan pemerintah dalam pembangunan adalah “tambang emas” untuk pendapatan perusahaan pers. Sehingga jarang diberitakan jika tidak dibayar.

Padahal, rakyat wajib tahu ke mana uang pajak mereka digunakan. Sayangnya, informasi ini tidak terinformasi dengan baik karena media arus utama bahkan media lokal enggan memberitakannya jika tidak dibayar oleh pemerintah.

Dampak buruknya, pemerintah dianggap tidak bekerja dan hanya sibuk menikmati uang rakyat. Meskipun ada berita baik tentang keberhasilan pemerintah membangun fasilitas publik, masih ada cibiran dari kelompok oposisi. Apalagi jika informasi tentang pencapaian pemerintah sangat minim.

Tidak heran jika ujaran kebencian muncul di media sosial, dan warganet begitu mudah memaki pemerintah. Di sinilah peran media arus utama perlu dimaksimalkan untuk menciptakan pemerataan isu positif dan negatif, minimal seimbang. Sejatinya, berita dengan isu positif harusnya lebih dominan karena lebih bermanfaat bagi masyarakat.

Media arus utama perlu mengedepankan Gerakan Pemberitaan Solusi (Solutions Journalism), yaitu pendekatan jurnalisme yang fokus menyoroti tanggapan terhadap masalah sosial, bukan hanya masalah itu sendiri. Tujuannya adalah untuk menginspirasi pembaca atau penonton dengan menunjukkan bahwa ada solusi yang berhasil dan dapat ditiru atau dicontoh. Pendekatan ini dapat memicu tindakan positif dari masyarakat.

Sebagai contoh, media seperti The Guardian (Inggris) dan The New York Times (AS), meskipun independen dan kritis, berinisiatif mempublikasikan isu-isu yang berfokus pada solusi. Misalnya, liputan tentang bagaimana sebuah komunitas berhasil mengurangi tingkat kejahatan atau bagaimana sebuah kota menemukan cara inovatif untuk mengatasi polusi. Pendekatan ini bertujuan menginspirasi pembaca agar lebih produktif dalam memecahkan masalah.

Menjaga Keseimbangan: Kritik dan Apresiasi

Sebagai penutup, penulis berpendapat bahwa pers harus tetap kritis terhadap kebijakan pemerintah. Namun, kritik dan kontrol sosial tidak boleh lebih dominan daripada fakta keberhasilan pemerintah.

Pers memiliki peran ganda: sebagai pengawas yang kritis dan sebagai penyampai informasi yang berimbang. Fungsi ini esensial untuk menjaga akuntabilitas pemerintah dan memastikan transparansi.

Namun, dominasi berita negatif dapat menciptakan persepsi publik yang terdistorsi dan tidak adil.

Pentingnya Pemberitaan Berimbang

Masyarakat berhak mengetahui kedua sisi dari sebuah cerita. Pemberitaan yang berimbang tidak hanya berfokus pada kegagalan dan masalah, tetapi juga pada pencapaian dan solusi.

Contohnya, jika media memberitakan isu korupsi, penting juga untuk melaporkan upaya-upaya pemerintah dalam memberantasnya. Demikian pula, saat melaporkan kritik terhadap kebijakan, pers dapat menyajikan data dan fakta keberhasilan yang telah dicapai pemerintah dalam bidang lain.

Dengan begitu, masyarakat dapat membentuk opini yang lebih komprehensif dan adil, bukan sekadar terpapar pada narasi negatif yang berulang. Pemberitaan yang seimbang juga dapat mendorong optimisme dan partisipasi publik yang konstruktif dalam pembangunan bangsa.

Pada intinya, tulisan ini sebagai oto kritik bagi masyarakat pers dalam konteks untuk membangun kualitas pers yang bermartabat.

(Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *