MAKASSAR – SEPUTARindonesia.co.id-Teresia Tumengkol, seorang warga kecil yang berjuang untuk mempertahankan hak atas tanahnya, kembali mengalami kegetiran dalam perjuangannya mencari keadilan.
Kasus ini bermula dari tanah seluas 2.428 m² dan 340 m² yang berada di Kelurahan Panambungan, Kecamatan Mariso, Kota Makassar. Tanah yang secara sah dimiliki Teresia Tumengkol sejak tahun 1999 sesuai Surat Ukur yang Sah dari BPN Kotamadya Ujung Pandang pada tahun 1999 telah dijadikan objek sengketa dan dirampas oleh PT GMTD, Tbk,perusahaan besar yang mengklaim kepemilikan tanah tersebut.
meskipun tidak memiliki dasar hukum yang jelas atas alas hak atas tanah objek sengketa Nyata-nyata PT.GMTD,Tbk menimpahkan PPJB milik orang lain ke atas sebagian tanah milik Teresia Tumengkol .
Obyek Sengketa yaitu PPJB 06 September 2010 antara almarhumah Hj.Najmiah Muin dan PT.GMTD, tbk. Dimana obyek PPJB tersebut telah bersertifikat Hak Guna Bangunan nomor 20018/Panambungan/tahun 2013 dengan luas hanya 7.662 m2, dimana Hj.Najmiah Muin semasa hidupnya telah menyatakan bahwa batas sebelah utara dari obyek PPJB tersebut adalah tanah milik Teresia Tumengkol.
Menurut keterangan Bapak SENTOSA anak dari Ibu TERESIA TUMENGKUL disaat dikompirmasi oleh awak media,” Pada tanggal 03 Juli 2024, Pengadilan Negeri Kelas IA Khusus Makassar menggelar sidang peninjauan lokasi bersama pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Makassar, dihadiri langsung oleh majelis hakim. Dalam kesempatan itu, pihak BPN secara terang-terangan menyatakan bahwa “ tanah objek sengketa tersebut belum bersertifikat,Pernyataan ini diperjelas oleh BPN dalam sidang, menjawab pertanyaan majelis hakim mengenai status sertifikat, bahwa tanah seluas 2.428 m² dan 340 m² yang disengketakan “ tidak memiliki sertifikat apapun sehingga belum diketahui luasnya ”. Fakta persidangan ini disaksikan langsung oleh majelis hakim, pihak terkait, dan saksi-saksi yang hadir.
Namun, fakta persidangan ini tampaknya tak mendapat tempat dalam putusan pengadilan. Pada 05 September 2024, majelis hakim dalam pertimbangannya justru menyatakan bahwa objek tanah sengketa sudah masuk dalam sertifikat HGB (Hak Guna Bangunan) Nomor 20018 dan 20005, yang masing-masing atas nama PT Mariso Indoland Makassar dan PT Siloam Sarana Karya, Putusan ini tidak hanya mencederai hati ibu saya Teresia Tumengkol, tetapi juga meresahkan publik yang mendambakan keadilan dari pengadilan.
Bagaimana bisa tanah saya yang sudah memiliki Surat Ukur Yang Sah dari BPN Kotamadya Ujung pandang sejak tahun 1999 namun belum bersertifikat lantas tiba-tiba dimasukkan ke dalam HGB perusahaan, Apakah keterangan dari BPN yang menyatakan tanah objek sengketa ini belum bersertifikat diabaikan begitu saja.
Saya juga sudah membuat Resume dalam sidang mediasi di Pengadilan Negeri Kelas IA Khusus Makassar, bahwa tolong agar Klaim atas tanah milik PT.GMTD,Tbk yang sudah bersertifikat hak guna bangunan nomor 20018, Surat Ukur nomor 00617/panambungan /2013 dengan luas 7.662 m2 ( tujuh ribu enam ratus enam puluh dua meter persegi ) tahun 2013 atas nama PT. Mariso Indoland Makassar dan Sertifikat Hak Guna Bangunan nomor 20005 tanggal 21 maret 2012, surat ukur nomor 00487/2012 tanggal 16 maret 2012 atas nama PT.Siloam Sarana Karya, agar dapat dilakukan pengukuran ulang atas permintaan Majelis Hakim kepada pihak BPN Kota Makassar agar dapat diketahui secara pasti dan transparan apakah obyek sengketa seluas 2.428 m2 masuk ke dalam SHGB 20018 atau tidak masuk ke dalam SHGB 20018 dan obyek sengketa 340 m2 masuk ke dalam SHGB 20005 atau tidak masuk ke dalam SHGB 20005,, namun resume saya pun di abaikan.
Saya syok dan terperanjat, sangat tidak masuk di akal sehat jika majelis hakim dalam pertimbangannya justru menyatakan bahwa objek tanah sengketa sudah masuk dalam sertifikat HGB (Hak Guna Bangunan) Nomor 20018 dan 20005, yang masing-masing atas nama PT Mariso Indoland Makassar dan PT Siloam Sarana Karya tanpa dilakukan pengukuran ulang oleh pihak BPN Kota Makassar selaku instansi pemerintah yang berwenang atas administrasi tanah yang juga sebagai Tergugat VIII dalam perkara ini.
Pertimbangan majelis hakim seperti ini merupakan Penistaan terhadap Penegakan Keadilan Hukum di Pengadilan Negeri Kelas IA Khusus Makassar yang sangat merugikan ibu saya Teresia Tumengkol dan sangat mencederai hak-hak pencari keadilan bagi rakyat kecil.
Ibu saya Teresia telah berjuang selama 14 tahun melawan ketidak adilan ini kini berharap agar publik mengetahui perjuangannya. Ia adalah korban dari praktik ketidakadilan yang diduga kuat melibatkan mafia hukum. Selama lebih dari satu dekade, PT GMTD, Tbk. telah menyerobot tanahnya sejak tahun 2010 tanpa dasar hukum yang sah.
Dalam putusan terbaru, bukti kuat dari BPN yang seharusnya menjadi landasan utama keputusan justru seolah diabaikan, menyebabkan kerugian besar bagi keluargaku,”jelasnya.
Di tempat yang sama ibu Teresia Tumengkol juga sempat memberi keterangan pada awak media,” Saya berharap agar perjuangan yang kami lakukan menjadi perhatian Ketua Pengadilan Negeri Makassar, Ketua Pengadilan Tinggi Makassar dan Mahkamah Agung, saya ingin agar keadilan ditegakkan dengan benar.
Saya mengajak masyarakat untuk bersama-sama mendukung perjuanganku ini sebagai bentuk dukungan terhadap keadilan, terutama bagi rakyat kecil yang kerap terpinggirkan dalam persidangan melawan perusahaan besar.
Saya hanya seorang rakyat kecil yang ingin mempertahankan hak saya yang sah. Tolong bantu saya agar publik mengetahui bahwa tanah saya sudah memiliki Surat Ukur Yang Sah dari BPN Kotamadya Ujung pandang sejak tahun 1999 namun masih belum bersertifikat sampai sekarang , namun di katakan oleh majelis hakim telah masuk ke dalam SHGB 20018 dan SHGB 20005 tanpa hasil pengukuran pengembalian batas yang sah dari BPN Kota Makassar, dan putusan ini sangat merugikan kami yang selama ini menjadi korban eksekusi dan perampasan lahan.” ujar Teresia penuh harap.
Masyarakat Indonesia, terutama netizen yang selalu memperjuangkan keadilan, diminta turut serta mendukung perjuangan ibu Teresia Tumengkol. Ia berharap agar dukungan publik bisa menjadi kekuatan untuk melawan ketidakadilan dan memastikan bahwa suara rakyat kecil tidak tenggelam dalam arus kepentingan perusahaan besar.
Kasus ini menjadi sebuah ujian bagi sistem peradilan kita. Apakah keadilan benar-benar bisa ditegakkan bagi semua, tanpa melihat status atau kekuatan finansial ? Teresia Tumengkol hanya berharap, haknya yang sah sebagai pemilik tanah bisa diaku