Jakarta – seputar indonesia.co.id – Dalam langkah berani untuk membela integritas lembaga peradilan, Ir. Soegiharto Santoso, S.H., selaku Ketua Umum DPP APKOMINDO secara resmi melaporkan dugaan praktik rekayasa hukum sistematis, penggunaan dokumen palsu, dan maladministrasi peradilan yang telah mencemari setidaknya sembilan (9) putusan pengadilan dari tingkat pertama hingga Peninjauan Kembali (PK). Laporan terpadu ini disampaikan secara serempak kepada tiga pilar pengawas peradilan: Ketua Mahkamah Agung RI, Ketua Komisi Yudisial RI, dan Kepala Badan Pengawasan MA RI, Selasa (9/12/2025).
Ironi yang sangat dalam terletak pada fakta bahwa meskipun dibangun di atas fondasi bukti yang cacat dan dokumen yang dipertanyakan keabsahannya, pihak Rudy Dermawan Muliadi justru berhasil memenangkan 9 perkara secara beruntun. Kondisi ini dinilai sebagai ancaman sistemik yang tidak hanya merugikan pihak korban, tetapi lebih jauh telah merusak marwah, kredibilitas, dan kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan sebagai benteng keadilan terakhir.
Bukti Nyata Pola “Hukum Berbayar”: Pengalaman Korban Kriminalisasi
Laporan ini tidak lahir dari ruang hampa bukti. Pelapor, Ir. Soegiharto Santoso, S.H., yang juga menjabat sebagai Sekretaris Jenderal PERATIN dan Wakil Ketua Umum SPRI, menyampaikan pengalaman personalnya sebagai korban langsung dari pola serupa. Pada tahun 2016, ia mengalami kriminalisasi berdasarkan laporan polisi yang dilayangkan oleh Sonny Franslay, dengan melibatkan persekongkolan jahat sejumlah saksi, yaitu: Agus Setiawan Lie, Hidayat Tjokrodjojo, Henkyanto Tjokroadhiguno, Irwan Japari, Hengky Gunawan, Iwan Idris, Rudy Dermawan Muliadi, Faaz Ismail, dan Entin Kartini.
Laporan tersebut tercatat dengan nomor LP/392/IV/2016/Bareskrim Polri tertanggal 14 April 2016. Proses hukum yang menyusul berlangsung sangat cepat dan tidak wajar: statusnya berubah dari saksi menjadi tersangka hanya dalam waktu 3 bulan, berkas dinyatakan lengkap (P-21) dalam 8 bulan, dan pada tahap kedua ia langsung ditahan selama 43 hari di Rutan Bantul.
“Kebenaran akhirnya terungkap di persidangan,” ungkap Soegiharto yang akrab disapa Hoky. “Seorang saksi yaitu Henkyanto Tjokroadhiguno, dengan tegas menyatakan di bawah sumpah bahwa saksi tahu siapa-siapa orang yang menyediakan dana supaya Terdakwa (Hoky) masuk Penjara, seingat saksi Suharto Yuwono dan satunya saksi tidak ingat.” Pernyataan ini tercatat resmi dalam putusan pengadilan. Alhamdulillah, Pengadilan Negeri Bantul memutuskan saya tidak bersalah dan putusan ini dikuatkan oleh Mahkamah Agung.”
Namun, ironi pahit muncul. Sementara kasus terhadap dirinya diproses kilat, laporan polisi yang ia ajukan atas kejadian tersebut dihentikan oleh pihak Bareskrim Polri dan laporan polisi lainnya di Polres JakSel telah berjalan lebih dari 5 tahun akan tetapi masih berkutat di tahap penyelidikan. “Kontras ini adalah bukti empiris bagaimana uang dan kuasa dapat mendikte kecepatan dan arah proses hukum. Ini adalah ciri sistem yang sakit yang harus disembuhkan,” tegasnya.
Proses Pelaporan dan Respons Awal Komisi Yudisial
Sebagai bentuk komitmen terhadap prosedur yang benar dan upaya memperbaiki sistem, Hoky telah secara langsung menyampaikan pengaduan serta berkonsultasi terkait laporan ini kepada petugas Komisi Yudisial RI. Konsultasi ini dilakukan guna memastikan bahwa laporan dapat ditindaklanjuti secara efektif sesuai dengan kewenangan dan mekanisme yang berlaku.
Di lokasi kantor KY RI pada Selasa, 9 September 2025, Hoky menegaskan: “Saya telah bertemu dan berkonsultasi dengan pihak petugas KY. Saya tegaskan bahwa tujuan satu-satunya adalah menjaga marwah dan wibawa peradilan kita. Ini bukan tentang kemenangan atau kekalahan kelompok saya, melainkan tentang integritas proses hukum itu sendiri. Saya mengapresiasi respons dan perhatian yang diberikan, dan pengaduan saya telah diterima dengan nomor: 1331/XII/2025/P.”
Langkah proaktif ini menunjukkan bahwa laporan ini tidak dimaksudkan untuk memprovokasi, melainkan sebagai wujud kewajiban moral seorang warga negara untuk melaporkan dugaan penyimpangan, dalam kerangka pembersihan dan reformasi institusi peradilan.
Mengungkap Fakta: Sembilan Putusan yang Tercemar dan Polanya
Berdasarkan analisis mendalam terhadap dokumen persidangan, Hoky mengidentifikasi sembilan putusan yang diduga kuat dibangun di atas fondasi rekayasa dan pemalsuan. Kesembilan perkara tersebut adalah:
1. Perkara No: 633/Pdt.G/2018/PN JKT.SEL (Putusan awal yang menjadi sumber masalah)
2. Perkara No: 235/PDT/2020/PT.DKI
3. Perkara No: 430 K/PDT/2022
4. Perkara No: 542 PK/Pdt/2023
5. Perkara No: 218/Pdt.G/2020/PN Jkt.Pst
6. Perkara No: 138/PDT/2022/PT DKI
7. Perkara No: 50 K/Pdt/2024
8. Perkara No: 258/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst
9. Perkara No: 1125/PDT/2023/PT DKI
Tercatat dengan jelas bahwa gugatan dalam perkara No. 633/Pdt.G/2018/PN JKT.SEL diajukan oleh Rudy Dermawan Muliadi bersama Faaz Ismail. Dalam prosesnya, diduga kuat terjadi persekongkolan yang melibatkan sejumlah saksi yang diduga memberikan keterangan palsu dibawah sumpah, yaitu Hidayat Tjokrodjojo, Henkyanto Tjokroadhiguno, dan Irwan Japar.
Pola kecurangan yang teridentifikasi bersifat sistematis dan meliputi:
1. Kontradiksi Dokumen Mutlak: Penggunaan dua versi susunan kepengurusan yang sangat berbeda untuk klaim peristiwa hukum yang sama pada peristiwa Munaslub APKOMINDO 2 Februari 2015. Kedua dokumen kontradiktif ini justru disusun oleh firma hukum yang sama, menunjukkan adanya konstruksi fakta yang disengaja.
2. Pengabaian Keterangan Saksi Kunci yang Membantah: Dalam persidangan perkara No. 633/Pdt.G/2018, saksi kunci Rudi Rusdiah telah menyatakan di bawah sumpah bahwa keterangan dalam surat gugatan terkait peristiwa Munaslub tanggal 2 Februari 2015 adalah tidak benar. Namun, keterangan krusial ini diabaikan oleh Majelis Hakim. Pengabaian terhadap alat bukti yang sah merupakan pelanggaran prinsip pembuktian.
3. Dokumen Dasar yang Secara Material Tidak Mendukung Klaim: Akta Notaris No. 55 terkait peristiwa Munaslub tanggal 2 Februari 2015, yang dijadikan pilar utama gugatan, secara faktual tidak memuat sama sekali perubahan pengurus baru APKOMINDO. Akta tersebut hanya dibuat untuk mengubah Anggaran Dasar. Lebih lanjut, fakta bahwa salah satu penggugat Perkara No. 633 (Faaz Ismail) tidak hadir dalam Munaslub membuat klaim tentang keterpilihannya menjadi mustahil secara hukum dan logika.
“Putusan pertama ini bagai bangunan yang dibangun di atas pasir. Fondasinya rapuh, buktinya palsu, dan kesaksian yang membantah diabaikan. Namun, yang mengejutkan, putusan-putusan berikutnya di tingkat banding, kasasi, bahkan PK, justru mengikuti dan mengukuhkan konstruksi hukum yang cacat ini terkait kepengurusan APKOMINDO. Ini bukan lagi kesalahan prosedural biasa, melainkan indikasi kuat adanya disfungsi sistemik yang memungkinkan kesalahan fatal di tingkat pertama terus dilanggengkan,” papar Hoky dengan mendalam.
Kesiapan untuk Klarifikasi dan Konfrontasi Langsung
Untuk menunjukkan tingkat keseriusan dan keberanian dalam membela kebenaran, Hoky menyatakan kesiapannya untuk berhadapan langsung dengan para majelis hakim yang memutus perkara pokok tersebut. “Saya siap dilakukan proses klarifikasi atau konfrontasi dengan para Majelis Hakim, khususnya untuk Perkara No: 633/Pdt.G/2018/PN JKT.SEL. Saya bersedia berhadapan dengan Ketua Majelis Hakim berinisial R dan Hakim Anggota masing-masing berinisial HP dan berinisial DH,” tegasnya.
Pernyataan kesiapan ini bukanlah sebuah tantangan, melainkan sebuah ajakan untuk transparansi dan dialog mencari kebenaran materiil. Ia percaya bahwa jika semua pihak berpegang pada fakta dan dokumen yang sah, maka kebenaran akan muncul. “Mari kita bedah bersama, di depan publik atau forum tertutup yang digelar oleh MA atau KY, bagaimana sebuah putusan bisa lahir dari dokumen palsu dan Majelis Hakim mengabaikan keterangan saksi kunci,” tambahnya.
Permohonan Tindakan Terintegrasi untuk Pemulihan Keadilan dan Pengawasan Proaktif
Menyikapi kompleksitas dan urgensi masalah ini, Hoky telah mengirimkan surat No. 111/DPP-APKOMINDO/XII/2025, tertanggal 8 Desember 2025 untuk memohon tindakan terkoordinasi dan proaktif dari ketiga lembaga:
• Kepada MA RI: Diharapkan membentuk Tim Audit Khusus untuk memeriksa substantif kesembilan perkara terkait APKOMINDO, mempertimbangkan Peninjauan Kembali (PK) jika audit menemukan kekeliruan yuridis yang mendasar, dan menerbitkan pedoman kewaspadaan terhadap modus serupa. Secara khusus, saat ini kami memohon agar Ketua MA melakukan pengawasan terpadu terhadap proses banding Perkara No. 212/G/2025/PTUN.JKT yang dilakukan oleh Rudy Dermawan Muliadi dan Suwandi Sutikno. Permohonan ini didasari kekhawatiran bahwa pola rekayasa yang sama sangat mungkin terulang dan berkelanjutan seperti pada peristiwa Perkara No: 633/Pdt.G/2018/PN JKT.SEL., sehingga pengawasan ekstra dari pimpinan tertinggi peradilan sangat diperlukan untuk memastikan proses yang bersih.
• Kepada Komisi Yudisial RI: Diharapkan melakukan pengawasan khusus dan mendalam terhadap perilaku hakim yang terlibat dalam kesembilan perkara, dimulai dari majelis hakim perkara pertama, termasuk menilai kepatuhan terhadap Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) secara komprehensif.
• Kepada Badan Pengawasan MA RI: Diharapkan melakukan audit internal yang mendetail terhadap proses administrasi, manajemen perkara, dan prosedural dalam kesembilan perkara tersebut untuk mengungkap potensi maladministrasi atau kelalaian yang memungkinkan putusan cacat ini terus naik tingkat.
Catatan Positif dan Kepercayaan pada Peradilan yang Bersih
Di tengah keprihatinan mendalam ini, Hoky tetap menyampaikan apresiasi dan kepercayaan dasar pada institusi peradilan. “Kami tidak buta pada keadilan yang bekerja. Justru karena kami percaya pada cita-cita peradilan yang bersih dan adil, kami merasa perlu bersuara untuk membereskan yang salah,” kata Hoky.
Sebagai bukti bahwa keadilan dapat ditegakkan ketika proses berjalan jernih, pihak yang diwakili oleh Hoky justru telah memenangkan 12 (dua belas) kali di semua tingkatan peradilan dalam sengketa terkait APKOMINDO, termasuk dalam perkara perdata, tata usaha negara, niaga dan pidana. Kemenangan-kemenangan ini, yang didasarkan pada fakta dan hukum yang kuat, menjadi pembanding yang kontras terhadap sembilan putusan yang dipertanyakan dan sekaligus menjadi alasan mengapa laporan ini diajukan.
“Kami meminta perhatian serius dari pimpinan tertinggi peradilan. Tindakan tegas, transparan, dan terkoordinasi untuk mengungkap kasus ini tidak hanya penting untuk membela hak kami yang dirugikan, tetapi lebih luas lagi: demi menyelamatkan martabat peradilan Indonesia, memulihkan kepercayaan masyarakat, serta memberikan efek jera yang nyata bahwa tidak ada ruang bagi mafia, rekayasa, atau pemalsuan dalam sistem peradilan kita. Mari bersama kita jaga marwah peradilan, terlebih saat ini pihak lain masih terus melakukan upaya rekayasa hukum yang telah berjalan lebih dari dua belas tahun,” tutup Hoky.
(Red)








