News  

Sekema Swakelola Membuka Potensi Terjadinya Rantai Persekongkolan dan Kolusi

Sukabumi. Jawa Barat, seputarindonesia.co.id — Kewenangan Kepala Sekolah dalam mengelola dana revitalisasi terutama dalam konteks skema swakelola, memang sangat luas dan mencakup bukan hanya pertanggungjawaban dana, tetapi juga kewenangan kunci dalam aspek manajemen teknis dan organisasi proyek. Kewenangan Kepala Sekolah yang sangat krusial dan memiliki potensi penyimpangan besar.

Kepala Sekolah memiliki kewenangan untuk menunjuk individu atau pihak yang bertindak sebagai tim teknis yang membantu proyek revitalisasi. Penunjukan ini meliputi Konsultan perencana untuk menyusun Rencana Anggaran Biaya/RAB dan spesifikasi teknis dan konsultan pengawas untuk mengawasi mutu dan kuantitas pekerjaan di lapangan.

Potensi penyimpangan berawal, Jika penunjukan ini tidak melalui proses seleksi yang transparan dan didasarkan pada kompetensi, melainkan pada hubungan pribadi atau kekerabatan, hal ini dapat mengarah pada Konflik Kepentingan (Conflict of Interest). Pihak yang dapat diajak berkolusi untuk memanipulasi RAB/Spesifikasi (markup harga, penurunan kualitas material), mengabaikan temuan penyimpangan saat pengawasan melancarkan pencairan dana.

Kepala Sekolah juga memiliki kewenangan untuk membentuk dan menetapkan Panitia Pelaksana Proyek, seperti Panitia Pembangunan Satuan Pendidikan (P2SP), yang bertanggung jawab langsung atas pelaksanaan proyek swakelola. P2SP entitas pelaksana di tingkat sekolah. Walaupun melibatkan unsur guru dan komite, Kepala Sekolah memiliki peran sentral dalam penentuan personel dan pengarahan kerjanya, Kepala Sekolah mengontrol secara langsung pelaksanaan fisik di lapangan, termasuk proses pengadaan material/jasa.

Pembentukan P2SP tanpa prinsip keterbukaan dan akuntabilitas serta penetapan anggota yang memiliki hubungan dekat, mempermudah kontrol Kepala Sekolah atas aliran dana dan spesifikasi pekerjaan, sering kali memuluskan indikasi penyelewengan dana.

Kewenangan yang besar ini memerlukan mekanisme pengawasan dan batasan yang ketat. Ketiadaan batasan yang jelas dan transparansi yang lemah pada tahap penunjukan (tim teknis) dan pembentukan panitia (P2SP) menjadi lubang utama masuknya kolusi dan penyalahgunaan wewenang (Abuse of Power), yang berujung pada hasil pembangunan fisik yang tidak sesuai standar dan kerugian keuangan negara.

 

M.Dasep

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *