Sugiwaras – seputar indonesia.co.id – Sebuah investigasi jurnalistik mengenai dugaan praktik pelepasan tersangka narkoba dengan tebusan uang di wilayah hukum Desa Sugiwaras berujung pada ancaman pembunuhan terhadap sang jurnalis. Peristiwa ini menambah catatan kelam tentang betapa beratnya perjuangan menegakkan kebenaran, sekaligus memperlihatkan bahaya nyata yang mengintai para pencari fakta. Perlu dicatat, Sugiwaras adalah nama samaran yang digunakan untuk melindungi identitas wilayah sebenarnya, Rabu (3/12/2025).
Konflik bermula pada Maret 2025, ketika saya menerima panggilan darurat dari Amran (bukan nama sebenarnya), anggota unit narkoba Polres setempat. Amran meminta bantuan saya selaku jurnalis untuk mengonfirmasi informasi sensitif: seorang Kapolsek diduga akan membebaskan dua tersangka narkoba. Informasi ini menjadi pemicu serangkaian peristiwa yang membahayakan keselamatan saya sekaligus membuka dugaan praktik korupsi yang lebih dalam.
Merespons hal tersebut, saya segera menghubungi Kapolsek melalui pesan WhatsApp. Kapolsek membantah tuduhan itu dan menegaskan bahwa kedua tersangka akan segera dilimpahkan ke Polres, dengan alasan keterlambatan proses akibat kesibukan operasional. Meski demikian, saya tetap melakukan pengecekan lebih lanjut, menyadari pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam penegakan hukum.
Dua hari setelah klarifikasi, pelimpahan tersangka tak kunjung dilakukan. Kecurigaan semakin menguat ketika saya kembali menghubungi Amran untuk memastikan status tahanan. Jawaban Amran yang berbelit-belit, “Sebentar Pak, saya masih di jalan,” tanpa tindak lanjut. Hal itu justru menambah tanda tanya. Tak lama kemudian, saya menerima telepon intimidatif dari Kasat Narkoba yang menuntut diberitahu identitas sumber informasi.
“Siapa anggota saya yang telepon kamu? Kenapa dia tidak lapor dulu ke saya?” bentaknya melalui telepon. Upaya saya untuk menawarkan pertemuan tatap muka ditolak, memperkuat dugaan adanya sesuatu yang sengaja disembunyikan.
Situasi semakin rumit ketika seorang informan bernama Leo mengungkapkan fakta mengejutkan. Menurutnya, di sebuah desa terpencil di wilayah Sugiwaras, anggota unit narkoba menangkap para pengguna narkoba, lalu membebaskan mereka dengan tebusan sebesar Rp 50 juta. Jika benar, praktik ini merupakan pelanggaran serius terhadap hukum dan etika, sekaligus merusak kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum.
Saya mencoba menelusuri lebih jauh, bertanya apakah yang dibebaskan dengan tebusan itu adalah tangkapan baru atau justru tersangka yang ditangkap Kapolsek. Namun, jawaban Amran kembali tidak jelas, semakin menguatkan indikasi adanya upaya menutupi kebenaran.
Ketegangan mencapai puncak ketika saya menerima panggilan misterius dari seorang pria yang meminta saya datang ke suatu lokasi. Menyadari potensi bahaya, saya datang bersama rekan sesama jurnalis, Wiwin. Sesampai di tempat, kami disambut oleh Rizkyanto, seorang preman berpengaruh di daerah itu.
Rizkyanto secara terang-terangan mengancam nyawa kami. “Kalian berdua berhenti melakukan konfirmasi dengan unit narkoba! Kalau kalian mau konfirmasi, sama saya saja. Kalau tidak, tadi unit narkoba telepon saya, kalian akan ditembak!” ancamnya. Ancaman ini membuat saya dan Wiwin ketakutan, sekaligus menyingkap adanya hubungan tidak sehat antara oknum aparat dengan jaringan preman lokal.
Peristiwa ini meninggalkan trauma mendalam bagi saya. Di satu sisi, saya memiliki tekad kuat untuk mengungkap praktik korupsi yang merugikan masyarakat. Namun di sisi lain, ancaman nyata terhadap keselamatan jiwa menjadi pertimbangan serius. Dilema ini mencerminkan tantangan berat yang dihadapi jurnalis ketika berhadapan dengan jaringan gelap dan penyalahgunaan kekuasaan.
Kasus di Sugiwaras memperlihatkan betapa rapuhnya perlindungan terhadap jurnalis di lapangan. Ancaman fisik, intimidasi, hingga potensi pembunuhan menjadi risiko nyata yang harus dihadapi demi menegakkan kebenaran.
Peristiwa ini bukan sekadar kisah ancaman terhadap seorang jurnalis, melainkan gambaran nyata tentang potensi korupsi dan kolusi di tingkat lokal. Dugaan praktik pelepasan tersangka dengan tebusan uang, keterlibatan oknum aparat, serta intimidasi terhadap jurnalis menunjukkan adanya krisis integritas dalam penegakan hukum.
Diperlukan tindakan tegas dari pihak berwenang yang lebih tinggi untuk mengusut tuntas dugaan praktik korupsi ini. Penegakan hukum yang transparan dan akuntabel menjadi kunci untuk memulihkan kepercayaan publik. Selain itu, perlindungan terhadap jurnalis harus diperkuat, agar mereka dapat menjalankan tugas tanpa ancaman terhadap keselamatan jiwa.
Kasus Sugiwaras adalah peringatan keras bahwa jurnalisme investigatif di Indonesia masih menghadapi risiko besar. Ancaman, intimidasi, hingga potensi kekerasan fisik menjadi tantangan nyata bagi mereka yang berani mengungkap kebenaran. Namun, keberanian mengambil resiko merupakan fondasi penting dalam menjaga demokrasi dan integritas hukum.
Peristiwa pahit dengan polisi di Sugiwaras yang saya alami menegaskan bahwa tanpa keberanian jurnalis, praktik gelap akan terus berlangsung tanpa kontrol. Oleh karena itu, dukungan publik dan tindakan tegas dari aparat berwenang sangat diperlukan untuk memastikan keadilan ditegakkan, kebenaran terungkap, dan keselamatan jurnalis terjamin.
(Red)








