Kabupaten Bekasi – seputar indonesia.co.id – Kasus dugaan malpraktik yang menyeret nama Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Cabangbungin, Kabupaten Bekasi, terus menuai sorotan publik. Unit Kriminal Khusus (Krimsus) Polres Metro Bekasi kini tengah mendalami laporan masyarakat atas dugaan kelalaian medis yang menyebabkan kehilangan bola mata pada salah satu pasien dan kematian pasien lainnya, Kamis (16/10/2025).
Berdasarkan Laporan Polisi Nomor LP/B/2486/VII/2025/Polres Metro Bekasi/Polda Metro Jaya, tertanggal 7 Juli 2025, penyidik menjadwalkan pemanggilan terhadap Direktur Utama RSUD Cabangbungin, dr. Eni Herdani, untuk memberikan klarifikasi pada Rabu (15/10/2025) pukul 10.00 WIB di Polres Metro Bekasi.
Namun, hingga waktu pemeriksaan yang ditetapkan, dr. Eni Herdani tidak hadir alias mangkir dari panggilan resmi penyidik.
Ketidakhadiran pimpinan RSUD Cabangbungin tersebut dibenarkan oleh Brigpol Sukma Nurjaya, S.IP, penyidik Unit Krimsus Polres Metro Bekasi. Menurutnya, pihak rumah sakit hanya memberikan alasan singkat bahwa sang direktur memiliki urusan lain.
“Benar, Direktur RSUD Cabangbungin tidak hadir dalam pemanggilan hari ini. Alasannya karena ada urusan lain. Kami akan menjadwalkan ulang pemanggilan untuk klarifikasi lanjutan, pada hari rabu depan ” ujar Brigpol Sukma Nurjaya saat ditemui diruang kerja , Rabu (15/10/2025).
Sikap mangkir ini menimbulkan tanda tanya besar di kalangan masyarakat dan kalangan pemerhati hukum kesehatan. Sebab, sebagai pejabat publik yang memimpin fasilitas kesehatan milik daerah, seharusnya seorang direktur rumah sakit bersikap kooperatif dan menghormati proses hukum yang sedang berjalan.
Ketua DPD Asosiasi Keluarga Pers Indonesia (Akpersi) Jawa Barat, Ahmad Syarifudin, C.BJ., C.EJ., menilai tindakan mangkir tersebut merupakan bentuk ketidakpatuhan terhadap hukum dan mencederai kepercayaan publik terhadap lembaga pelayanan kesehatan daerah.
“Seorang direktur rumah sakit daerah seharusnya memberi contoh sikap profesional. Alasan ‘ada urusan lain’ tidak pantas disampaikan dalam kasus serius seperti dugaan malpraktik, apalagi yang menyebabkan luka berat bahkan bisa menyebabkan kematian pada pasien,” tegas Ahmad Syarifudin.
Menurutnya, ketidakhadiran tersebut menunjukkan lemahnya komitmen pimpinan RSUD terhadap transparansi dan tanggung jawab moral kepada masyarakat.
“Kalau memang tidak bersalah, datang dan klarifikasi. Tapi jika justru menghindar, itu akan menimbulkan dugaan publik bahwa ada sesuatu yang ditutup-tutupi. Lembaga publik seperti RSUD harus tunduk pada hukum dan etika,” ujarnya.
Dalam perspektif hukum kesehatan, pimpinan rumah sakit tidak hanya memiliki tanggung jawab administratif, tetapi juga pidana, perdata, dan etik profesi, jika terbukti lalai dalam fungsi pengawasan atau manajemen yang berujung pada terjadinya malpraktik.
1. Pertanggungjawaban Pidana
Kepala rumah sakit dapat dimintai pertanggungjawaban pidana apabila terbukti ada kelalaian serius atau pembiaran sistemik, terutama jika kelalaian itu menyebabkan kematian pasien atau cacat permanen.
2. Pertanggungjawaban Etik Profesi
Jika pimpinan rumah sakit berstatus sebagai dokter, maka yang bersangkutan juga dapat diperiksa oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI).
Sanksinya bisa berupa teguran keras hingga pencabutan Surat Izin Praktik (SIP) bila terbukti melanggar kode etik kedokteran.
3. Sanksi Administratif
Berdasarkan UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, instansi berwenang seperti Kementerian Kesehatan atau Dinas Kesehatan Kabupaten Bekasi dapat memberikan sanksi administratif, di antaranya:
Teguran tertulis terhadap pimpinan rumah sakit;
Denda finansial,
Pembekuan izin operasional sementara,
Hingga pencabutan izin operasional secara permanen jika ditemukan pelanggaran berat.
4. Pertanggungjawaban Perdata
Rumah sakit juga dapat digugat secara perdata oleh pihak keluarga korban.
Pasal 46 UU Rumah Sakit menegaskan bahwa rumah sakit bertanggung jawab secara hukum atas kelalaian tenaga medis yang bekerja di bawah naungannya.
Faktor yang Menentukan Sanksi:
Besaran dan jenis sanksi yang akan dijatuhkan terhadap kepala rumah sakit sangat bergantung pada:
Tingkat kelalaian: apakah kelalaian bersifat individu atau sistemik;
Bukti keterlibatan: apakah direktur turut dalam pengambilan keputusan medis;
Kepatuhan terhadap aturan internal rumah sakit;
Tindak lanjut dan itikad baik dalam memberi kompensasi serta memperbaiki sistem pelayanan.
“Jika terbukti lalai secara sistemik, maka direktur rumah sakit tidak bisa berlindung di balik alasan teknis. Ia wajib bertanggung jawab secara hukum dan moral,” tegas Ahmad Syarifudin.
Polres Metro Bekasi dijadwalkan akan melayangkan panggilan ulang terhadap Direktur RSUD Cabangbungin dalam waktu dekat. Jika kembali mangkir tanpa alasan yang sah, penyidik berwenang mengambil langkah hukum tegas sesuai prosedur penyidikan pidana.
Sementara itu, hingga berita ini diterbitkan, pihak RSUD Cabangbungin maupun Dinas Kesehatan Kabupaten Bekasi belum memberikan pernyataan resmi terkait ketidakhadiran dr. Eni Herdani dalam agenda pemeriksaan tersebut.
Publik kini menanti sikap tegas dari aparat penegak hukum dan pemerintah daerah untuk memastikan bahwa dugaan malpraktik ini tidak berakhir tanpa kepastian hukum, serta menjadi momentum perbaikan sistem pengawasan rumah sakit di Kabupaten Bekasi.
(Red/team)