Teknologi Metaverse Dan Potensi Gangguan Kesehatan Mental

Jakartaseputar indonesia.co.id – Teknologi metaverse adalah konsep dunia digital tiga dimensi yang imersif, menggabungkan dunia fisik dan virtual, memungkinkan pengguna untuk berinteraksi, bekerja, bermain, dan bertransaksi melalui avatar menggunakan teknologi seperti realitas virtual (VR), realitas tertambah (AR), dan blockchain. Teknologi ini menjadi evolusi internet yang lebih interaktif dan memungkinkan pengalaman yang lebih mendalam untuk hiburan, pendidikan, dan bisnis, Kamis (25/9/2025).

Topik “Teknologi Metaverse dan Potensi Gangguan Kesehatan Mental” merupakan isu yang semakin relevan seiring berkembangnya dunia digital. Selanjutnya akan saya coba paparkan analisis yang membahas hubungan antara metaverse dan dampaknya terhadap kesehatan mental, baik dari sisi positif maupun negatif, serta faktor risiko dan potensi solusinya.

*Dampak Negatif / Potensi Gangguan Kesehatan Mental*
– Dissosiasi Realitas
– Terlalu lama berada di dunia virtual bisa menyebabkan hilangnya koneksi dengan realitas fisik.
– Pengguna bisa mengalami disorientasi, kecemasan, dan gejala psikosis ringan.
– Ketergantungan Digital / Kecanduan
– Interaksi dan reward instan di metaverse bisa memicu kecanduan, mirip dengan media sosial atau game online.
– Gejala : isolasi sosial, kelelahan, kehilangan minat terhadap aktivitas nyata.
– Depresi & Kecemasan Sosial
– Paparan terhadap standar ideal dalam dunia virtual (tubuh, gaya hidup, kekayaan digital) dapat menimbulkan rasa rendah diri.
– Cyberbullying dan Pelecehan Digital
– Dunia metaverse membuka ruang baru untuk perundungan dan pelecehan, termasuk dalam bentuk verbal dan avatar-interaction.
– Kurangnya regulasi atau keamanan digital bisa memperburuk situasi.
– Kehilangan Identitas Diri
– Menggunakan avatar berbeda dari diri nyata secara terus-menerus bisa menyebabkan krisis identitas atau gangguan dismorfia digital.

*Dampak Positif Potensial*
– Terapi Mental Virtual
– Psikoterapi berbasis VR bisa membantu penderita PTSD, fobia, atau depresi dalam lingkungan yang aman dan terkendali.
– Koneksi Sosial bagi yang Terisolasi
– Orang dengan keterbatasan fisik atau gangguan kecemasan sosial bisa berinteraksi lebih bebas di dunia virtual.
– Ruang Ekspresi Diri yang Kreatif
– Metaverse memberi ruang untuk eksplorasi identitas, seni, dan kebebasan berekspresi yang sulit dilakukan di dunia nyata.

*Faktor Risiko yang memperparah keadaan :*
– Minimnya literasi digital & kesehatan mental
– Kurangnya regulasi dan pengawasan konten di metaverse
– Lingkungan keluarga dan sosial yang tidak suportif
– Akses tanpa batas ke dunia metaverse sejak usia dini

*Solusi dan Pendekatan Preventif*
– Pendidikan Digital dan Emosional Sejak Dini
– Ajarkan anak dan remaja tentang keseimbangan antara dunia nyata dan digital.
– Batasan Waktu Penggunaan & Jeda Realitas
– Terapkan batas waktu penggunaan VR dan ajak pengguna kembali ke lingkungan nyata secara rutin.
– Desain Etis Teknologi
– Desainer metaverse harus memprioritaskan kesehatan mental dalam algoritma dan interaksi sosial.
– Layanan Kesehatan Mental Terintegrasi
– Hadirkan akses ke terapis, moderator, atau AI pendukung mental health langsung dalam platform metaverse.
– Regulasi Pemerintah
– Perlindungan hukum terhadap pengguna yang menjadi korban pelecehan digital.

Dengan demikian, teknologi metaverse memiliki potensi luar biasa, tetapi jika digunakan secara tidak terkendali dan tanpa pendekatan etis, bisa menjadi kontributor besar terhadap keruntuhan kesehatan mental. Kuncinya bukan menolak teknologi, tetapi mengembangkan kesadaran, regulasi, dan pendekatan berbasis empati dalam penggunaannya. Semoga bermanfaat.

(Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *