Kabupaten Bekasi – seputar indonesia.co.id – Aroma penyalahgunaan wewenang kembali tercium di Desa Bantarsari, Kecamatan Pebayuran, Kabupaten Bekasi. Temuan lapangan menunjukkan adanya perangkat desa yang justru merangkap sebagai pengurus kelompok tani (Poktan). Padahal, secara hukum jelas dilarang aparat desa menduduki kursi kepengurusan kelembagaan petani, Senin (1/9/2025).
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 Pasal 72 menyebut Poktan dibentuk oleh, dari, dan untuk petani. Artinya, struktur kepengurusan hanya boleh diisi oleh petani, bukan aparatur desa. Larangan rangkap jabatan juga termaktub dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa Pasal 51, yang mewajibkan perangkat desa bekerja penuh melayani masyarakat dan melarang setiap bentuk rangkap jabatan yang menimbulkan konflik kepentingan.
Lebih tajam lagi, Peraturan Menteri Pertanian Nomor 69 Tahun 2016 menegaskan kelembagaan tani harus dikelola secara mandiri oleh petani. Dengan demikian, masuknya perangkat desa dalam kepengurusan Poktan bukan sekadar pelanggaran administratif, tetapi juga bentuk intervensi kekuasaan yang merusak prinsip kemandirian petani.
Situasi ini menjadi rawan ketika ada program strategis pemerintah pusat seperti Percepatan Peningkatan Tata Guna Air Irigasi (P3-TGAI), yang dipercayakan kepada Poktan sebagai pelaksana. Jika perangkat desa ikut duduk di kursi pengurus, potensi bancakan proyek hingga praktik rente menjadi ancaman nyata.
Ketua DPD Asosiasi Keluarga Pers Indonesia (Akpersi) Jawa Barat, Ahmad Syarifudin, C.BJ., C.EJ., dengan tegas mengecam praktik rangkap jabatan tersebut.
“Ini jelas pelanggaran aturan. Poktan adalah milik petani, bukan milik perangkat desa. Kalau ada aparat desa yang masuk ke struktur, apalagi untuk mengawal proyek, itu sudah masuk kategori penyalahgunaan jabatan. Inspektorat, DPMD, dan aparat penegak hukum jangan tutup mata, harus segera turun tangan,” tegas Ahmad Syarifudin.
Ia bahkan memperingatkan agar aparat hukum tidak sekadar melakukan pembinaan, melainkan menyiapkan langkah hukum tegas. “Kalau terbukti ada niat memperkaya diri atau kelompok dengan cara menguasai Poktan, itu bukan lagi sekadar pelanggaran administrasi. Itu bisa mengarah pada tindak pidana korupsi. Jangan ada bancakan proyek petani oleh oknum perangkat desa,” ujarnya lantang.
Kasus Bantarsari dinilai Akpersi Jabar sebagai alarm keras bahwa praktik rangkap jabatan di desa masih marak. Jika tidak diberi sanksi tegas, bukan hanya petani yang dirugikan, tetapi juga marwah pemerintahan desa akan tercoreng di mata publik.
(Red/team)