Sorong – seputar indonesia.co.id – Setelah ramai pemberitaan terkait sengkarut kapal tugboat yang sandar di Mapolda Papua Barat Daya, yang beroperasi sebagai galangan kapal dadakan illegal, muncul pernyataan seorang pengacara abal-abal bernama Yosep Titirlolobi, yang mengaku mewakili PT. Armada Prima Samudra (PT. APS). Yosep mengklaim dalam pernyataannya bahwa kapal bekas itu adalah milik PT. APS, Selasa (26/8/2025).
Sejauh ini, yang diakui sebagai pemilik kapal adalah PT. Mitra Pembangunan Global (PT. MPG), sebuah perusahaan kayu yang pernah beroperasi di hutan adat masyarakat marga Saimar, di Distrik Kais Darat, Kabupaten Sorong Selatan, Provinsi Papua Barat Daya. Perusahaan itu kemudian minggat dan meninggalkan hutang berjumlah miliaran terhadap masyarakat adat pemilik hutan adat.
Dalam proses mediasi di Polres Sorong Selatan pada Maret 2025 lalu, PT. MPG diwakili Edi Yusuf dan Sawaludin. Sementara dari pihak pemilik hutan adat, hadir Yesaya Saimar dan Daud Enzo, Ketua Lembaga Masyarakat Adat Kaiso.
Pada pertemuan itu, kedua belah pihak bersepakat terkait pembayaran hutang PT. MPG yang akan dilakukan paling lambat pada hari Selasa, tanggal 15 April 2025. Juga disebutkan dalam surat perjanjian itu bahwa apabila Pihak II (PT. MPG) tidak membayarkan hak tersebut, maka kapal tugboat (kapal kecil penarik kapal besar – red) dan tongkang (kapal besar tanpa mesin – red) diserahkan dari Pihak II (PT. MPG) kepada Pihak I (Yesaya Saimar) sebagai kompensasi jaminan kepada masyarakat pemilik hak ulayat (Yesaya Saimar).
Berdasarkan fakta yang terjadi di depan hidung Kapolres Sorong Selatan itu, tentu saja sangat tepat jika akhirnya masyarakat adat, Yesaya Saimar dkk, mengklaim bahwa tugboat yang jadi obyek sengketa beralih hak kepada mereka ketika pembayaran tidak terjadi sesuai kesepakatan, 15 April 2025. PT. MPG telah melakukan wanprestasi, dan sebagai kompensasinya sesuai kesepakatan, kapal tugboat bekas diserahkan kepada Yesaya Saimar.
Aneh bin ajaib, tiba-tiba muncul perusahaan siluman bernama PT. APS yang diwakili pengacara abal-abal Yosef Titirlolobi dan mengaku sebagai pemilik kapal. Muncul pertanyaan, siapa yang terlibat dalam mempermainkan dan menzolimi masyarakat adat dalam kasus ini?
Banyak pihak menduga, nilai ekonomis yang dimiliki barang bekas alias besi tua itu menjadi incaran beberapa oknum aparat di Mapolda Papua Barat Daya dan Mapolres Sorong Selatan. Bahkan, kabarnya oknum Direktur Reskrimum Polda Papua Barat Daya, Kombes Pol Junov Siregar diduga kuat terlibat dalam konspirasi jahat itu, kabarnya diback-up oknum anggota DPR RI dapil Papua Barat Daya dari Partai Golkar, Robert Joppy Kardinal.
Yang paling menyedihkan, pengacara abal-abal Yosef Titirlolobi menuduh Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) Provinsi Papua Barat Daya membekingi mafia besi tua dalam kasus yang sedang hangat dibicarakan di Sorong ini. Tudingan ngawur asal njeplak itu muncul karena Ketua Komisi I DPRP, Zed Kadokolo, bersama dua anggotanya, Petrus Nau dan Robert George Yulius Wanma, meninjau langsung sumber masalah, yakni kapal tugboat yang sandar di pantai tempat Mapolda Papua Barat Daya, pada Jumat, 22 Agustus 2025.
Hampir dipastikan bahwa pengacara abal-abal Yosef Titirlolobi tidak paham tugas dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat yang salah satunya adalah fungsi pengawasan. Apalagi saat ada laporan masyarakat yang masuk ke DPRP, merupakan kewajiban bagi Anggota Dewan untuk meresponnya dalam rangka mencarikan solusi pemecahan masalah.
Sangat disayangkan apabila Fakultas Hukum di negeri ini hanya melahirkan lulusan dengan wawasan dan pengetahun yang tidak layak untuk menjadi bagian dari penegak hukum, lulusan yang hanya mengejar materi semata. Harus diketahui bahwa kewajiban Dewan adalah mendengar dan menampung aspirasi masyarakat, untuk kemudian ditindaklanjuti sesuai keinginan dan harapan masyarakat. Jika ada pengaduan, apakah Dewan harus diam saja?
Jika muncul riak-riak dari masyarakat adat, hal ini jelas ada yang tidak beres dengan perusahaan yang beroperasi di tengah masyarakat. Dalam kasus kapal tugboat, PT. MPG jelas merugikan masyarakat, dan Dewan sudah pada tempatnya membantu masyarakatnya mendapatkan hak-haknya. Apalagi di kasus ini ada peristiwa penculikan warga (Yesaya Saimar dan istrinya – red) oleh oknum gerombolan polisi Polres Sorong Selatan.
Terkait tuduhan Yosef Titirlolobi terhadap DPRP Provinsi Papua Barat Daya sebagai beking mafia besi tua, Ketua Komisi I, Zed Kadokolo, membantah hal itu. Dia mengatakan bahwa pihak Dewan menerima surat pengaduan dari masyarakat adat atas nama Yesaya Saimar. “Itu tidak benar sama sekali. Kami telah menerima surat dari masyarakat yang diantar sendiri dan kami sendiri telah menerima kedatangan masyarakat pada hari Jumat, tanggal 22 Agustus 2025, di gedung DPRP. Setelah mendengar hal tersebut (masalah tugboat – red), maka kita langsung turun ke lapangan,” jelas Zed Kadokolo sambil menambahkan bahwa tidak ada yang dibuat-buat, semua mengalir sesuai alurnya.
Sementara itu, Roberth George Yulius Wanma mengatakan bahwa dirinya adalah wakil rakyat dan dari rakyat. Kalau ada masalah di tengah masyarakat maka pihaknya perlu mendengar dan harus menerima mereka, bukan menolak mereka yang datang mengadu.
“Percuma saja kami menjadi wakil rakyat yang diangkat dan dipercayakan oleh masyarakat, jika tidak mau mendengar keluhan rakyat terkait apa yang terjadi di tengah-tengah masyarakat,” tegas Robersth Wanma, anggota DPRP utusan Otsus dari daerah Raja Ampat ini.
Ketika media menelusuri informasi terkait PT. APS di laman pencarian google, sangat minim didapatkan keterangan tentang perusahaan itu. Bahkan nomor kontak WhatsApp-nya, ketika dihubungi justru diarahkan ke fasilitas AI Microsoft Copilot. Plus, ketika mengunjungi akun facebook perusahaan itu, ternyata berisi pesan ‘halaman ini tidak tersedia.
(Red)