Jakarta – seputar indonesia.co.id – Istilah BELT AND ROAD INITIATIVE (BRI) mungkin bukan sesuatu yang asing di telinga dan mata kita, karena sering mendengar atau membaca istilah tersebut di berbagai platform media, jurnal, maupun seminar – seminar. Namun, belum tentu kita memahami betul istilah tersebut. Untuk itu, berikut saya coba jelaskan, dengan harapan bisa memberikan pencerahan sekaligus pengetahuan atau wawasan buat kita semua sehingga kita bisa mensikapinya dalam perspektif yang lebih tepat, Selasa (26/8/2025).
Saat tahun pertama menjabat sebagai Presiden Tiongkok, Xi Jinping mengeluarkan serangkaian kebijakan ekonomi yang dinilai ambisius. Kata ‘ambisius’ tidak selalu dimaknai negatif karena ambisi bisa menjadi daya dorong yang tinggi dalam suatu pemerintahan untuk mencapai cita – cita dan kepentingan nasionalnya. Oleh karenanya wajar sekali jika kebijakan tahun 2013 tersebut mendapat perhatian dunia internasional, karena bertujuan menghubungkan ekonomi Eurasia dengan infrastruktur, perdagangan, dan investasi.
BRI terdiri dari 2 komponen utama yaitu the Silk Road Economic Belt dan the 21st Century Maritime Silk Road. Silk Road Economic Belt sebagai jalur darat bertujuan menghubungkan provinsi tertinggal bagian barat Tiongkok dengan Eropa melalui Asia Tengah. Sedangkan the 21st Century Maritime Silk Road sebagai rute laut bertujuan menghubungkan provinsi pesisir Tiongkok yang kaya dengan kawasan Asia Tenggara hingga Afrika melalui pelabuhan dan jalur kereta api. Dengan menghubungkan Tiongkok dengan berbagai belahan dunia maka Xi Jinping memimpikan sebuah jalan sutera besi bagi Tiongkok beserta kepentingannya.
Jadi kebijakan Belt and Road Initiative (BRI) bertujuan untuk meningkatkan konektivitas dan kerja sama ekonomi antara Tiongkok dan negara-negara lain di Asia, Eropa, Afrika, dan bahkan Amerika Latin. Tepatnya, meningkatkan konektivitas global melalui pembangunan infrastruktur seperti pelabuhan, jalan, rel kereta api, dan jaringan energi, memperluas pasar ekspor untuk barang dan jasa Tiongkok, mengembangkan kawasan pedalaman Tiongkok, terutama wilayah barat yang kurang berkembang, dan meningkatkan pengaruh geopolitik Tiongkok di kancah internasional.
Silk Road Economic Belt (Sabuk Ekonomi Jalur Sutra), fokus pada jalur darat yang menghubungkan Tiongkok dengan Asia Tengah, Timur Tengah, Eropa, hingga Rusia melalui pembangunan jalan, rel, dan koridor ekonomi lintas negara. 21st Century Maritime Silk Road (Jalur Sutra Maritim Abad ke-21) fokus pada jalur laut yang menghubungkan pelabuhan Tiongkok dengan Asia Tenggara, Afrika Timur, dan Eropa Selatan. Lebih dari 150 negara dan organisasi internasional telah menandatangani nota kesepahaman (MoU) untuk bekerja sama dalam kerangka BRI, termasuk Indonesia.
Implementasi dari kebijakan tersebut, dilakukan dalam format :
– Investasi Infrastruktur, berupa Pelabuhan, jalan tol, jalur kereta cepat, bandara, pembangkit listrik.
– Pinjaman dan Pendanaan yang disalurkan melalui lembaga seperti Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) dan Silk Road Fund.
– Zona Ekonomi Khusus yang dibentuk di beberapa negara mitra untuk menarik investasi.
Sementara itu implementasi BRI di Indonesia berupa pembangunan proyek strategis, seperti Kereta Cepat Jakarta-Bandung, kerja sama pelabuhan, energi, dan kawasan industri. Dan juga bagian dari Poros Maritim Dunia milik Indonesia yang sejalan dengan Jalur Sutra Maritim.
Implementasi dari kebijakan tersebut di beberapa negara memiliki tantangan sendiri karena dalam prakteknya banyak negara mitra terjerat “jebakan utang”. Lalu juga adanya penilaian kurangnya transparansi, karena banyak proyek proses tender dan kontraknya dianggap tidak terbuka. Kemudian terkait dengan dampak lingkungan dan sosial. Proyek BRI kadang menimbulkan konflik lahan dan degradasi lingkungan. Oleh karenanya tidak heran jika banyak orang yang beranggapan kebijakan tersebut menampilkan potret dominasi Tiongkok, karena BRI dianggap sebagai alat untuk memperluas pengaruh geopolitik Tiongkok secara tidak seimbang.
Disitulah pokok persoalan yang sering muncul, meskipun secara konsep di atas kertas cukup baik, akan tetapi praktek di lapangan menimbulkan banyak persoalan. Artinya harus dievaluasi, lalu melakukan perbaikan – perbaikan yang diperlukan. Posisi tawar Indonesia harus diperkuat sehingga peningkatan konektivitas antar negara harus memberikan ruang kebermanfaatan maksimal buat rakyat Indonesia, misalnya terbukanya lapangan kerja buat masyarakat lokal. Kemudian terkait transfer teknologi juga harus terlaksana dalam timeframe yang jelas sehingga ada waktu suatu saat Indonesia bisa mandiri.
(Red)