Pergeseran Aliansi Global, BRICS, Weimar + Dan Kemitraan Strategis EU-Asia Tengah Oleh : Dede Farhan Aulawi

Jakartaseputar indonesia.co.id – Sangat menarik jika kita mau mencermati dinamika perubahan geopolitik sepanjang tahun 2025 ini. Apalagi bagi para analis yang terkait, bisa mencermati setiap variabel perubahan yang berimplikasi pada dinamika kedaulatan dan keamanan suatu negara. Perubahan geopolitik hakikatnya mengacu pada pergeseran dalam hubungan kekuasaan dan pengaruh antar negara di dunia. Perubahan ini seringkali dipicu oleh faktor-faktor seperti pertumbuhan ekonomi, perkembangan teknologi, perubahan demografi, dan dinamika kekuatan militer. Beberapa contoh perubahan geopolitik yang signifikan meliputi pergeseran pusat kekuatan ekonomi dari Barat ke Asia, persaingan antara negara adidaya, dan munculnya aktor non-negara yang berpengaruh.

Ada beberapa hal yang bisa digarisbawahi jika kita mau mencermati lebih detai, yaitu pertama terkait perubahan dalam Tatanan Global dan Multilateralisme. Tatanan dunia pasca–Perang Dingin kini runtuh, dengan dominasi Amerika Serikat melemah dan munculnya dunia multipolar yang lebih tidak stabil dan kompetitif. Kemudian munculnya kebijakan tarif agresif yang mengganggu sistem perdagangan dan keuangan global, serta mengancam tatanan internasional. Juga munculnya “Resesi Geopolitik”: era polarisasi dan fragmentasi, meski pertumbuhan ekonomi optimis masih mungkin jika bisa dihindari krisis tambahan.

Kedua, Fragmentasi Perdagangan & Tarif Proteksionis AS. Pemerintahan Trump menerapkan tarif tinggi yang drastis, dimana rata-rata tarif efektif AS mencapai 18,2%, tertinggi sejak 1934 dan telah memicu fragmentasi sistem perdagangan global. Lazard dan WEF mencatat potensi disrupsi besar dalam rantai pasokan dan aliansi perdagangan global akibat tindakan proteksionis tersebut.

Ketiga, munculnya Blok & Aliansi Baru. Di Asia, China memanfaatkan kesempatan untuk memperluas pengaruh geopolitiknya, termasuk dalam kerangka BRICS. Pada KTT BRICS 17 Juli 2025 di Rio de Janeiro, deklarasi fokus pada pembangunan tata kelola AI, kesehatan global, dan reformasi keamanan global. India dijadwalkan mengambil alih kepemimpinan pada 2026. Di Eropa, muncul inisiatif strategis seperti aliansi Weimar+ yang menggabungkan Prancis, Jerman, Polandia, Inggris, Spanyol, Italia, dan Komisi Eropa guna mengurangi ketergantungan terhadap kebijakan luar negeri AS dan memperkuat dukungan militer dan ekonomi untuk Ukraina. Summit Uni Eropa–Asia Tengah (April 2025 di Samarkand, Uzbekistan) menghasilkan kemitraan strategis baru dan paket investasi senilai US$13,2 miliar.

Keempat, Teknologi, Geopolitik Digital & Ketahanan AI. Persaingan teknologi AI, kuantum, dan semikonduktor menjadi medan perebutan kekuasaan baru, dengan pembentukan blok teknologi terfragmentasi antara AS dan China. Deklarasi BRICS untuk mengatur AI secara inklusif melalui PBB menyoroti bahwa teknologi ini menjadi arena diplomasi global. Program “Made in China 2025” terus mendorong China untuk menguasai sektor-sektor strategis seperti AI, 5G, dan bioteknolog i.

Kelima, Koordinasi Rusia, China, Iran, dan Korea Utara (CRINK) sebagai aliansi Anti-Barat. Istilah CRINK merujuk pada kerjasama antara China, Rusia, Iran, dan Korea Utara yang merupakan kelompok negara tidak resmi namun erat bersinergi untuk menjadi alternatif terhadap hegemoni Barat.

Keenam, Keamanan Eropa dan Kebijakan Militer. Uni Eropa semakin mendorong rearmament: pada awal 2025, usulan untuk mengalokasikan setengah dari anggaran pengadaan pertahanan kepada sektor industri EU dan program ReArm Europe senilai €800 miliar muncul sebagai respons atas ketidakpastian keamanan global.

Ketujuh, bangkitnya Kekuatan Regional & Global South. Perkembangan geopolitik yang signifikan melibatkan meningkatnya peran negara-negara Global South seperti India, Brasil, Afrika, dan kawasan Asia-Pasifik yang semakin otonom secara strategis. India sedang memperdalam hubungan strategis dengan Jepang dan Jerman untuk menjaga stabilitas di Indo-Pasifik.

Kedelapan, tantangan Iklim, Migrasi, dan Krisis Sosial. Krisis iklim semakin memicu migrasi massal dan konflik regional, yang memicu kebutuhan kebijakan migrasi dan tata pemerintahan global yang lebih adaptif dan berperikemanusiaan.

Dengan demikian, tatanan dunia saat ini semakin terfragmentasi. Sistem multilateralisme lama merosot, digantikan oleh tatanan multipolar dengan daya tawar regional yang lebih kuat. Perlombaan proteksionisme dan teknologi melalui tarif tinggi dan blok teknologi memimpin pergeseran aliansi global. Aliansi baru terbentuk, seperti BRICS, Weimar+, dan kemitraan strategis EU–Asia Tengah menjadi pilar kerjasama baru. Militer dan AI mendominasi diplomasi masa depan, dimana kendali atas keamanan dan teknologi menjadi kunci pengaruh global. Kekuatan Global South meningkat, menandai transformasi lanskap kekuatan dunia.

(Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *