Kabupaten Bandung Barat – seputar indonesia.co.id – Upaya mendorong transparansi dan keadilan dalam dunia pendidikan kembali digaungkan oleh Dewan Pimpinan Daerah Asosiasi Keluarga Pers Indonesia (DPD Akpersi) Jawa Barat. Melalui ketuanya, Ahmad Syarifudin, C.BJ., C.EJ., DPD Akpersi Jabar secara resmi melaporkan dugaan pungutan liar (pungli) yang dilakukan oleh Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Kota Cimahi, kepada Kantor Wilayah Kementerian Agama (Kanwil Kemenag) Provinsi Jawa Barat, Senin (4/8).
Laporan ini menyusul munculnya keluhan dari sejumlah orang tua siswa terkait kebijakan sekolah yang mewajibkan pembayaran Dana Sumbangan Pendidikan (DSP) sebesar Rp 4 juta, serta SPP bulanan sebesar Rp 160 ribu, yang diduga diberlakukan tanpa dasar hukum yang jelas.
Temuan lapangan yang diperoleh dari penelusuran media dan keterangan warga menunjukkan bahwa pungutan tersebut disampaikan dalam pertemuan komite sekolah yang disebut-sebut telah berkoordinasi dengan Kemenag Kota Cimahi dan Provinsi Jawa Barat. Namun sayangnya, hingga kini tidak ada dokumen legal atau keputusan resmi yang mendasari pungutan tersebut.
“Kalau memang sah, mana dasar hukumnya? Kalau tidak sah, mengapa Kemenag membiarkan? Ini yang kami pertanyakan,” ujar Ahmad Syarifudin.
Ahmad menegaskan bahwa pungutan yang dibebankan kepada siswa baru jelas bertentangan dengan prinsip sekolah negeri yang seharusnya dibiayai negara. Terlebih, MAN Cimahi diketahui menerima dana BOS sekitar Rp 1 juta per siswa per tahun, ditambah dana bantuan lainnya untuk operasional dan pemeliharaan.
“Jika sekolah kekurangan dana, tanggung jawab negara-lah untuk mencukupi. Bukan malah membebani rakyat melalui mekanisme pungutan yang tidak akuntabel,” tegasnya.
Sejumlah wali murid mengaku tidak pernah menyetujui secara eksplisit besaran DSP yang ditentukan sekolah. Musyawarah tidak dilakukan secara terbuka. Orang tua hanya dikumpulkan dan diberi tahu bahwa DSP sebesar Rp 4 juta harus dibayar.
“Tidak ada musyawarah, tidak ada diskusi. Kami dianggap setuju hanya karena datang ke pertemuan,” ungkap salah satu wali murid kepada tim investigasi.
Hal ini memperkuat dugaan bahwa proses partisipatif yang diamanatkan dalam pengelolaan pendidikan justru diabaikan oleh pihak sekolah.
Melalui surat resmi bernomor:
016/DPD-AKPERSI/BKS/VIII/2025, tertanggal 3 Agustus 2025, DPD Akpersi Jabar menyampaikan permintaan evaluasi dan klarifikasi tertulis kepada Kemenag atas dugaan pungutan tanpa dasar hukum di MAN Kota Cimahi.
Surat tersebut diterima dan dicatat oleh Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Kanwil Kemenag Jawa Barat pada 4 Agustus 2025, sebagai dokumen resmi yang telah diarsipkan dan masuk agenda pelayanan publik.
Dalam penelusuran lebih lanjut, komite sekolah juga mengakui bahwa masih ada sekitar 30 alumni MAN Kota Cimahi yang belum menerima ijazah mereka. Meskipun tidak secara gamblang mengaitkan dengan tunggakan, publik menduga ada relasi antara keterlambatan pengambilan ijazah dan beban keuangan.
“Ini menjadi bukti tambahan bahwa hak siswa atas pendidikan dapat terhambat hanya karena aspek administrasi dan uang,” ujar Ahmad.
DPD Akpersi Jawa Barat menyatakan akan mengawal kasus ini hingga tuntas. Jika tidak ada langkah konkret dari Kanwil Kemenag Jawa Barat dalam waktu dekat, Akpersi akan menempuh jalur lanjutan dengan melapor ke Ombudsman RI dan Inspektorat Jenderal Kemenag RI.
“Kami ingin memastikan pendidikan negeri tetap berpihak pada rakyat, bukan berubah menjadi lembaga bisnis yang mengabaikan keadilan sosial,” tegas Ketua DPD Akpersi.
Pendidikan adalah hak konstitusional seluruh warga negara, bukan barang dagangan yang hanya bisa diakses oleh mereka yang mampu membayar. Praktik pungutan di lembaga pendidikan negeri seperti yang terjadi di MAN Kota Cimahi menjadi alarm serius bagi pemerintah dan publik.
Kini masyarakat menanti langkah tegas dari Kementerian Agama. Apakah negara hadir membela hak rakyat, atau justru memilih tutup mata terhadap komersialisasi pendidikan negeri?
(Red)