Oleh: Iskandar Sitorus, Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW)
DJSN melanggar Perpres, status quo diselundupkan
Bayangkan sebuah lembaga publik sebesar BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan, yang mengelola ratusan triliun dana jaminan sosial, justru dikunci oleh proses seleksi direksi yang cacat hukum. Fakta ini terjadi saat Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) secara sepihak mengajukan nama-nama anggota Panitia Seleksi (Pansel), tanpa dasar hukum yang sah.
Padahal, menurut Peraturan Presiden nomor 81 tahun 2015, yang berhak mengusulkan Pansel adalah Menteri Kesehatan untuk BPJS Kesehatan dan Menteri Ketenagakerjaan untuk BPJS Ketenagakerjaan.
Namun DJSN malah mengambil alih peran menteri, bahkan menyelipkan mantan Direktur Utama BPJS dalam Pansel. Ini bukan sekadar penyimpangan administratif, tapi juga modus untuk mempertahankan status quo. Ini memperkecil peluang perubahan dan membekukan inovasi sistemik.
Legalitas disimpangkan, tabrak Perpres 81/2015
Pasal demi pasal dalam Perpres 81/2015 dengan tegas-jelas menyebut:
1. Pasal 10 ayat (3): Menteri Kesehatan mengusulkan Pansel BPJS Kesehatan.
2. Pasal 10 ayat (4): Menteri Ketenagakerjaan mengusulkan Pansel BPJS Ketenagakerjaan.
3. Pasal 13: Komposisi Pansel terdiri dari 2 unsur pemerintah dan 5 unsur masyarakat.
4. Pasal 14–15: DJSN hanya berhak mengusulkan dari unsur masyarakat, dan itu pun sebagai masukan, bukan pengambil alih kewenangan.
5. Pasal 18: Anggota Pansel tidak boleh menjadi calon Dewan Pengawas atau Direksi.
Maka penyusupan mantan Dirut BPJS ke dalam Pansel ternyata malah menabrak tiga hal sekaligus:
1. Pelanggaran regulasi,
2. Pelanggaran etika jabatan publik, dan
3. Pelanggaran prinsip transparansi dan akuntabilitas tata kelola BPJS.
Diprediksi tata kelola BPJS terancam kacau
Jika praktik ini dibiarkan, konsekuensinya bukan cuma administratif. Ini soal masa depan jutaan rakyat peserta BPJS yang terancam dilayani oleh sistem yang tidak akuntabel. Kita bicara soal konflik kepentingan, penyelundupan kepentingan pribadi ke dalam kelembagaan, dan potensi ketidakpercayaan publik.
Dalam catatan IAW, selama 10 tahun terakhir, Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK berulang kali menyorot:
1. Pengelolaan dana tidak efisien,
2. Pola belanja BPJS yang tidak transparan,
3. Kinerja pelayanan yang stagnan,
4. Overclaim dan fraud di fasilitas kesehatan, dan
5. Keterlambatan pembayaran klaim.
Jika akar masalahnya justru dari atas, yakni dari mekanisme seleksi pimpinan yang disabotase secara prosedural, maka BPJS cenderung akan terus tersandera oleh masalah yang sama setiap tahun dikemudian hari.
Perspektif hukum administrasi, bisa digugat bisa juga dibatalkan
Jika dilanjutkan, proses seleksi ini berpotensi:
1. Dibatalkan melalui PTUN, karena cacat prosedur,
2. Digugat melalui judicial review ke Mahkamah Agung,
3. Menjadi objek pelaporan ke Ombudsman RI,
4. Dan dalam skala lebih besar, bisa menjadi bahan hak angket DPR RI soal tata kelola dana publik di BPJS.
Preseden ini berbahaya. Lembaga yang dibangun untuk jaminan sosial rakyat justru dikunci oleh elit yang gagal patuh pada regulasi dasarnya sendiri.
Solusi IAW: Presiden Prabowo harus ambil alih
Kepatuhan terhadap regulasi bukan sekadar simbol. Ini tulang punggung akuntabilitas kelembagaan. Maka:
1. Presiden Prabowo harus segera membatalkan seluruh proses seleksi Pansel yang berasal dari usulan DJSN.
2. Menteri Sekretaris Negara wajib mengembalikan proses kepada Menteri Kesehatan dan Menteri Ketenagakerjaan sebagai pemegang mandat sesuai Perpres.
3. DJSN harus ditegur keras dan diberi batasan ketat dalam menjalankan fungsinya, yakni hanya sebagai pengusul unsur masyarakat, bukan pelaku utama seleksi.
4. Jika tetap dipaksakan, IAW mendorong judicial review dan langkah PTUN oleh masyarakat sipil.
Saatnya revolusi tata kelola BPJS dimulai dari hulu
BPJS bukan milik elit birokrasi atau eks-petinggi yang ingin mempertahankan kekuasaan. Ia milik rakyat, yaitu peserta aktif yang berharap pelayanan lebih baik, klaim lebih cepat, dan transparansi anggaran.
Dan semua itu dimulai dari satu titik kritis yakni proses seleksi yang bersih, taat hukum, dan bebas dari konflik kepentingan.
Jangan biarkan penyimpangan prosedur menjadi normalisasi. Jangan biarkan lembaga publik dikuasai oleh yang tidak patuh regulasi.
Pak Presiden Prabowo, sekarang saatnya hal itu dibenahi sebelum terlambat, agar tidak jadi beban dikemudian hari!